SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA melayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Halal-haramnya Memungut Riba Oleh Eka Darmaputera Ketika saya mempersiapkan naskah renungan ini, kontroversi sekitar pernyataan pendekar kita dari Malaysia, Dr. Mahathir Mohammad, baru saja mereda. Toh saya yakin persoalannya sendiri cuma diam untuk sementara. Pada suatu ketika, menunggu pemicu yang lain, isu yang sama pasti akan mencuat lagi ke permukaan. Bersama segala macam emosi yang menyertainya. Adapun isu yang diperdebatkan, adalah soal "dominasi Yahudi" di hampir semua bidang kehidupan yang, menurut Mahathir Mohammad, pengaruhnya terasa secara global. Sebenarnya, secara faktual, kenyataan tentang dominasi Yahudi ini, siapa yang dapat membantahnya? Baik di bidang politik internasional yang memengaruhi konstelasi hubungan antarbangsa; di bidang pers yang membentuk opini dan prasangka dunia; maupun di bidang ekonomi yang mengatur penataan dan pemerataan kekayaan dunia. MENGENAI kisah sukses serta dominasi Yahudi di bidang ekonomi, khususnya di sektor keuangan, konon, kuncinya adalah pada soal halal-haramnya orang "memungut riba". Agama Kristen, untuk waktu yang lama, dengan tegas menolak praktik riba. Agama Islam pun sama. Di antara tiga "agama abrahamik" itu, hanya agama Yahudi yang berbeda. Yudaisme tak pernah secara mutlak mengharamkan riba. Memungut riba, menurut mereka, boleh-boleh saja. Asal tidak dikenakan pada "saudara" sendiri. Tapi kalau memungut riba dari "orang-orang non-yahudi", dari para "goyim" - ini oke-oke saja. Akibatnya mudah sekali ditebak. Dunia perbankan yang hidup-matinya tergantung pada "selisih riba" segera dikuasai orang-orang Yahudi tanpa saingan. Setelah posisi mereka mantap tak tergoyahkan, barulah-dengan malu-malu dan setengah hati-kekristenan mulai menolerirnya. Dimulai oleh Calvin, dengan pembatasan-pembatasan yang amat ketatnya. Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, persoalan riba juga kian mengemuka. Maka bermunculanlah "bank-bank syari'ah", yang secara prinsipal menolak riba. Mengingat kenyataan ini, kita tidak dapat mengakhiri pembahasan Titah ke-8, JANGAN MENCURI, tanpa menyinggung masalah ini. Halalkah riba? Atau haram? Apakah memungut riba termasuk tindakan "mencuri", yaitu mengambil secara "paksa" dari orang lain, apa yang sebenarnya bukan hak kita? Bagaimanakah, dalam terang ajaran Kristen, kita menanggapinya? DALAM Perjanjian Lama disebutkan secara eksplisit larangan memungut riba, paling sedikit di antara sesama orang Yahudi. Misalnya, "Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang terhadap dia; janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya" (Keluaran 22:25). Larangan ini diulangi dalam Imamat 25:35-37, "Apabila saudaramu jatuh miskin, sehingga tidak sanggup bertahan di antaramu, maka engkau harus menyokong dia sebagai orang asing dan pendatang, supaya ia dapat hidup di antaramu. Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya . juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba" . Dan sekali lagi dalam Ulangan 23:19-20. "Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan atau apapun yang dapat dibungakan. Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga ." VERSI Kitab Ulangan inilah yang kemungkinan besar ditafsirkan secara sempit. Bahwa seolah-olah Allah sendirilah yang membenarkan diskriminasi, eksklusivisme, dan chauvinisme. Bahwa seolah-olah Yahweh sendirilah yang menetapkan "moralitas ganda": beriba hati terhadap kelompok sendiri, bertega hati terhadap kelompok lain. Padahal, so pasti tidak! Memahami roh dan semangat yang mendasari seluruh kesaksian alkitab, tahulah kita betapa mustahilnya Allah bisa sampai membenarkan -- apalagi menganjurkan -- perbuatan-perbuatan tak terpuji seperti itu. Imposibel! Pertanyaannya adalah, kalau "standar ganda" tidak mungkin, apakah itu berarti "riba" secara mutlak dilarang -- dalam kodisi apa pun dan kepada siapa pun? Tidak juga! Ketika kita menghadapi keragu-raguan untuk memahami dengan benar ayat-ayat Alkitab yang "multi-interpretatif" seperti dalam kasus kita, maka cara yang paling aman adalah, dengan memahami ayat-ayat tersebut dalam kerangka dan konteks yang lebih luas. Jangan dipenggal-penggal, seolah-olah setiap ayat berdiri sendiri-sendiri! Juga jangan, bila berjumpa dengan ayat-ayat yang sepintas lalu saling bertentangan, lalu kita hanya memilih ayat yang "cocok" dengan logika dan selera kita, seraya "membuang" yang lain. Sebab tidak jarang, Firman Tuhan justru merupakan kritik terhadap asumsi dan cara berpikir kita! MENURUT keyakinan saya, cara pemahaman yang tidak mungkin salah ialah, meletakkan kontroversi sekitar halal-haramnya "memungut riba", di bawah terang prinsip alkitabiah yang lebih tinggi dan lebih menyeluruh. Prinsip ini, apa lagi kalau bukan KASIH. (Ulangan 6:1-9). Tidak mungkin ada ayat Alkitab yang isinya berlawanan dengan "prinsip kasih". Nah, bila soal "memungut riba" kita soroti dalam terang "prinsip kasih", apa yang kita dapati? Paling sedikit adalah pantang dan tabu, menarik keuntungan dari kemalangan orang lain! Baik sekelompok dengan kita, maupun tidak. Saya akui, prinsip ini bertentangan dengan salah satu prinsip pilar dalam ekonomi, yaitu "hukum permintaan dan penawaran". Menurut hukum besi ekonomi ini, kesempatan untuk menarik keuntungan yang sebesar-besarnya, justru datang ketika permintaan (baca: kebutuhan) juga sedang tinggi-tingginya. Semakin seseorang terjerembab di jurang musibah, semakin potensial-lah ia untuk menjadi mangsa manusia-manusia "pemakan bangkai". Hukum inilah yang dengan amat konsekuen diterapkan oleh para "binatang ekonomi". Jadi soalnya bukanlah soal memungut riba "ya" atau "tidak". Memungut bunga dari seseorang yang meminjam uang untuk mengembangkan usahanya adalah sesuatu yang adil dan wajar. Pihak yang meminjamkan modal, sehingga orang lain dapat menikmati keuntungan yang lebih besar, tentu berhak memperoleh imbalan dari "jasa"nya. Ini amat kristiani, bukan? NAMUN semua itu tentu saja harus dilakukan dalam batas-batas kewajaran. Artinya, tingkat bunga yang ditetapkan tidak terlalu rendah sehingga merugikan si pemodal, namun juga jangan terlampau tinggi sehingga si peminjam tidak mungkin mengembangkan usahanya. Bila interaksi antara si pemodal dan si peminjam dilaksanakan de-ngan "prinsip kasih", yang terjadi adalah "saling menolong". Yang kekurangan modal tertolong karena ada yang meminjamkan modal, sedang yang meminjamkan modal pun tertolong karena uangnya menjadi "produktif". Sebaliknya bila transaksi hanya didorong oleh keinginan menarik keuntungan sebesar-besarnya dari pihak lain, yang akan terjadi adalah "saling memangsa". Ini tidak mustahil akan berakhir dengan kehancuran kedua belah pihak. Yang satu usahanya hancur tak dapat berkembang, yang lain tidak memperoleh uangnya kembali. Dan itulah jawaban saya kepada mereka yang sinis dan skeptis terhadap penerapan "prinsip kasih" dalam bisnis. Seolah-olah bisnis itu hanya terbuka bagi yang telah kehilangan hati nurani. Tidak! Menerapkan "prinsip kasih" ternyata mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi. Lebih "business-like" ! Saling menguntungkan itu 'kan lebih "business-like" ketimbang "saling membantai", bukan? Prinsip dasarnya adalah semua pihak berhak memperoleh keuntungan yang wajar dari yang ia miliki dan ia usahakan. Apakah "keuntungan" itu Anda sebut "bunga" atau "dividen" atau "bagi hasil", tidak terlalu penting bagi saya. Bukan istilahnya yang paling penting, tapi semangat dan motivasi yang mendasari serta melatar-belakanginya. Apakah itu adalah prinsip "kasih" yang saling tergantung dan saling menolong? Atau nafsu meng"eksploitasi" yang mau mengambil sebanyak-banyaknya, dan bila mungkin tidak perlu memberi apa-apa? PERTANYAAN yang tersisa, saya tahu, adalah: "dalam batas-batas kewajaran" itu kongkretnya dan persisnya apa atau berapa? Saya tidak akan menjawab pertranyaan ini panjang lebar, sebab saya yakin kita sebenarnya sama-sama tahu, bahwa pertanyaan tersebut tak ada jawabnya. Tidak ada mesin atau rumus yang secara mutlak dan eksak menentukannya. Menurut keyakinan saya, biarlah "kondisi pasar" di satu pihak dan "suara hati nurani" yang bersangkutan di lain pihak, yang menggumuli dan menentukannya. Tapi kita dapat memastikan, bahwa sesuatu telah berada di luar kewajaran, apabila ia dari awal dapat diperkirakan akan bersifat destruktif. Destruktif bagi diri sendiri, maupun bagi orang lain. Atau, kalau ia hanya mendatangkan keuntungan bagi yang sudah berkelebihan, sebaliknya membuat keadaan si malang justru kian mengenaskan. * |