EFESUS, KETIKA ORTODOKSI TERLALU MAHAL
Oleh: Eka Darmaputera
Kini yang tampak hanyalah puing yang terpuruk sepanjang enam
mil. Tak ada lagi kapal yang bisa merapat ke pantainya. Padahal
di abad-abad pertama, Efesus adalah pelabuhan tersibuk di
kawasan Asia Kecil. Itu lumrah belaka, bila di antara tujuh
jemaat yang disebut-sebut dalam kitab Wahyu, jemaat di kota
inilah yang disapa pertama-tama.
Efesus memang bukan ibu kota provinsi. Namun, pamornya jauh
lebih berkilau ketimbang Pergamus, ibu kota yang sebenarnya. Ia
terkenal dengan julukan "metropolis pertama dan terbesar di
Asia." Bahkan saking kagumnya, seorang pujangga, menyebutnya
"Lumen Asiae" atau "Cahaya Asia."
Sebagai kota pelabuhan terbesar, dan sekaligus titik temu tiga
jalur utama perdagangan darat, Efesus adalah salah satu kota
niaga terpenting di seluruh kekaisaran Roma juga pintu gerbang
antara Asia dan Eropa. Gubernur Roma yang baru akan mulai
bertugas harus mendarat dulu di Efesus sebelum ke Pergamus.
Sebaliknya, para saudagar yang akan ke Roma mesti bertolak dari
sini. Ketika para martir Kristen diangkut ke Roma untuk
dijadikan mangsa singa dan sebagainya, mereka juga
diberangkatkan dari sini sehingga Ignatius menyebut Efesus
sebagai "Jalan Raya Para Syuhada."
* * *
Dalam bayangan kita, kota sebesar, sesekular dan sekomersial
Efesus pasti membuat kehidupan penduduknya jauh dari sifat
religius dan norma-norma moral yang terpuji. Dalam hal moralitas,
dugaan Anda benar. Tapi tentang religiositasnya, Anda salah.
Kota ini adalah pusat pemujaan Dewi Artemis. Kuilnya dibangun
begitu indah sehingga digolongkan sebagai salah satu dari tujuh
keajaiban dunia. Di samping itu, Efesus juga kesohor dengan
kuil-kuil pemujaan kaisar serta dewa-dewi lainnya. Singkat kata,
Efesus adalah lahan subur bagi agama-agama kafir.
Tapi bagaimana religiositas bisa berdampingan dengan imoralitas?
O, bisa saja! Ini amat biasa di mana-mana. Juga di masyarakat
kita, bukan?
Di Efesus, keduanya terpadu dan menyatu harmonis sekali, melalui
kehadiran ratusan gadis cantik jelita yang berfungsi rangkap
sebagai imam dan sebagai pelacur suci di kuil-kuil Artemis.
Orang-orang Romawi menyatukan diri dengan pujaan mereka dengan
cara menyetubuhi pelacur-pelacur "suci" itu.
Di samping sebagai sentra kehidupan seks bebas, Efesus juga
merupakan pusat berkumpulnya penjahat-penjahat buronan kelas
kakap dari segala penjuru. Di sini konon berlaku aturan,
penjahat apa pun yang berhasil mencapai Efesus akan memperoleh
suaka, dan bebas dari kejaran hukum.
Melihat peri kehidupan moral seperti ini, pantaslah Heraklitus,
filsuf Yunani pra-Socrates yang paling terkemuka dikenal sebagai
"The Weeping Philosopher." Filsuf yang menangis. Ia menangisi
kebobrokan dan keborokan kotanya.
* * *
Saya tak akan berbicara lebih panjang lagi mengenai Kota Efesus.
Informasi di atas sekadar dimaksudkan agar Anda memperoleh
gambaran, bagaimana sulitnya hidup setia sebagai jemaat di
tengah-tengah konteks seperti itu. Sulitnya menerapkan "filsafat
ikan": di dalam air, tapi tidak tenggelam. Tapi justru dalam hal
inilah, jemaat ini istimewa.
Wahyu Yohanes menjelaskan, jemaat ini memperoleh pujian yang
luar biasa. Jarang-jarang Tuhan memuji sebuah jemaat seperti
itu.
Pertama, karena jemaat ini hidup. Giat, aktif, dan kerja keras.
Tuhan suka pada jemaat yang dinamis bukan jemaat yang beku atau
suam-suam kuku atau yang mati enggan, hidup pun tak mau.
Kedua, karena jemaat ini amat serius dengan imannya. "Committed"
penuh terhadap kemurnian ajaran. Karena itu, mereka sangat
mewaspadai pengajar-pengajar sesat dan nabi-nabi palsu. Yohanes
menyebut mereka "tidak sabar terhadap orang-orang jahat"
Bagi mereka, ajaran iman itu bukan "nasi rames," comot sana
comot sini asal enak, tak peduli apakah perut akan sakit
dibuatnya nanti. Pengetahuan mereka akan ajaran yang benar
memampukan mereka menelanjangi para serigala yang berbulu domba,
dan "mendapati mereka pendusta."
Ketiga, jemaat ini dipuji karena keuletan, ketabahan, dan
kerelaan mereka untuk menderita dan berkorban demi Kristus.
"Engkau tetap sabar dan menderita oleh karena nama-Ku; dan
engkau tidak mengenal lelah," kata Tuhan.
Sedikit sekali, bukan, jemaat yang seideal ini? Aktif dalam
kegiatan, serius dalam ajaran, dan berani dalam berkorban. Saya
mengenal banyak jemaat yang aktif, sayang ajarannya amburadul
penuh tahayul. Ada lagi yang ajarannya lempang, tapi lalu jadi
dingin dan kaku. Sedang yang lain, ramai dengan kegiatan serta
serius dalam ajaran, tapi kurang tahan berkorban. Jemaat Efesus
tidak!
* * *
Toh dalam Alkitab, jarang-jarang kita membaca kecaman Tuhan yang
sekeras seperti yang ditujukan-Nya kepada jemaat yang "ideal"
ini. Jemaat Efesus diingatkan Tuhan, tentang "betapa dalamnya
engkau telah jatuh." Diserukan, "Bertobatlah dan lakukanlah lagi
apa yang semula engkau lakukan."
Apa gerangan kesalahan fatal jemaat teladan ini? Menurut kitab
Wahyu, "Aku mencela engkau karena engkau telah meninggalkan
kasihmu yang semula."
"Meninggalkan kasih yang semula." Rupa-rupanya yang terjadi
adalah begitu fanatiknya jemaat ini memegangi ortodoksi, mereka
lalu melihat yang lain sebagai musuh yang harus ditumpas, bukan
sebagai domba yang mesti dicari, atau sebagai sesama yang mesti
dikasihi.
Mereka juga terserang penyakit sombong rohani, merasa diri benar
sendiri. Di dalam, saling menuding. Dan ke luar, eksklusif serta
menutup diri. Itulah yang terjadi, ketika kasih ditinggalkan.
Komitmen terhadap ortodoksi tentu saja penting. Tuhan memuji
jemaat Efesus dalam hal ini. Jemaat yang "jorok" dalam hal
ajaran, artinya apa saja ditelan asal enak, akan menjadi jemaat
yang membiarkan diri dipimpin oleh spekulasi dan teori rekaan
manusia, bukan lagi oleh kebenaran Firman Tuhan. Yang boleh jadi
menarik dan menyenangkan, tapi pasti menyesatkan. Saya melihat
gejala mengerikan ini kian mengharu-biru gereja-gereja kita di
Indoensia. Waspadalah!
Namun, toh jangan sekali-kali mempertahankan dan
memper"tuhan"kan doktrin dengan mengorbankan kasih! Sebab
kebenaran tanpa kasih, bukan lagi kebenaran. Lagipula ketika
kasih ditinggalkan, apa yang tinggal? Sebagaimana halnya jiwa,
walau memang bukan segala-galanya, tapi bila manusia kehilangan
jiwa apa lagi yang tersisa?
Kasih tidak berarti mentoleransi kesesatan, apa lagi kebejatan.
Bila kebenaran bisa ditegakkan tanpa kasih, kasih tidak dapat
diwujudkan tanpa kebenaran. Bedanya adalah kasih berusaha
mengoreksi, bukan memvonis mati. Kasih mengampuni, bukan
mengutuki. Kasih membawa kembali, bukan mengusir pergi.
Kepedulian utama ortodoksi adalah seperangkat prinsip kebenaran
pasti, sedangkan kasih, kepedulian utamanya adalah manusia. Dan
tak syak lagi, bagi Tuhan, manusia adalah yang terpenting.
Paling sedikit, manusia lebih penting dari prinsip. Bila tidak
demikian, itu berarti kita telah membayar terlalu mahal. "Siapa
bertelinga hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan roh
kepadanya." |