SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA melayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Dusta Hitam, Dusta Putih Oleh Eka Darmaputera Banyak orang berpendapat, bahwa "dusta" itu - seperti halnya sate atau soto - ada banyak jenisnya, meski satu saja esensinya. Esensi atau intinya, saya yakin, kita semua pasti tahu. Berdusta adalah mengutarakan sesuatu, yang diketahui tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Apa misalnya? Misalnya sudah jelas-jelas alkitab mengatakan, bahwa tak seorang pun mengetahui dengan pasti kapan persisnya Yesus akan datang kembali. Ini, semua pendeta yang tidak buta huruf, dan pernah membaca alkitab, pasti tahu. Eee, lha kok ya bisa-bisanya ada pendeta yang mengatakan, konon melulu berdasarkan "bisikan", bahwa Ia akan datang pada tanggal 10 November 2003. Lalu ketika terbukti bahwa ramalan tersebut meleset, astaga, masih tidak malu-malunya si pendeta itu ngeyel lagi. Mengatakan bahwa, karena satu dan lain hal, kedatangan-Nya ditunda sampai 10 November 2007. Tragis! Namun demikian, toh ada yang lebih menyedihkan. Yaitu, bahwa banyak orang mempercayainya. Rela di "dusta"i - untuk kesekian kali; berkali-kali. TAPI "dusta", memang benar, ada bermacam-macam bentuknya. Bisa dilakukan dengan cara mengatakan hal yang tidak benar. Sebaliknya bisa terjadi dalam bentuk bungkam seribu bahasa, sengaja tak mau mengungkapkan kebenaran. Tapi dapat pula dengan menyampaikan hanya "setengah" kebenaran. Berbeda-beda. Walaupun dalam satu hal ini, semuanya sama. Yaitu bahwa setiap "dusta" selalu dilakukan dengan sadar dan sengaja. Ada cerita tentang seorang yang baru saja tiba dari Amerika, yang berkunjung ke Minahasa. Kepada orang yang menemaninya dalam perjalanan itu, ia berpesan wanti-wanti agar diberitahu, bila dalam jamuan makan disajikan erwe atau daging anjing. Dan agar lebih yakin, permintaan ini ia ulang-ulangi setiap kali sebelum mengambil makanan. Sampai suatu ketika ia melihat makanan yang "aneh" tapi menarik. "Ini bukan erwe, 'kan?," ia bertanya. "O, bukan," jawab yang ditanya. Lalu ia mencicipinya. Mula-mula sedikit, tapi karena terasa enak, ia mengambil lagi lebih banyak. Dalam perjalanan pulang, ia bertanya, "Daging tadi rasanya enak betul. Daging apa itu?". "Itu daging paniki," jawab si teman. "Apa itu paniki?" "Kalong," jawab si teman. Si tamu Amerika itu terbelalak. "Kalong? Daging kalong?", suaranya setengah tercekik, "Mengapa Anda tidak memberitahu saya?" "Lho, yang Anda tanya 'kan apakah itu daging anjing. Anda tak pernah bicara soal kalong" Berdustakah si pemandu? Jawab saya adalah "ya", sekalipun ia tidak menga- takan yang tidak benar. Ia berdusta, karena secara sadar dan sengaja ia tidak mengatakan, apa yang ia tahu harus ia katakan. Ia berdusta karena dengan itu ia mengelabui temannya. Membuat temannya melakukan sesuatu, yang - sekiranya diberitahu -tak akan pernah mungkin ia lakukan. Ia berdusta bukan karena mengatakan ketidak-benaran, tetapi karena sengaja tidak mengatakan seluruh kebenaran. KATA "iblis" berasal dari sebuah kata dalam bahasa Yunani, "diabolos". Dan makna asli dari "diabolos", adalah "pemfitnah". "Tukang fitnah" atau "juru fitnah"! Itulah memang keahlian, kekhasan, dan senjata Iblis yang paling menonjol, dan yang paling banyak menimbulkan korban. Apa "fitnah" itu, kita tahu. "Fitnah" adalah "dusta" dalam kadar yang paling tinggi. Kalau diibaratkan emas, ia emas murni. 24 karat. Kalau teknologi, ia "top"nya. Mengapa? Karena dalam "fitnah" semua unsur kejahatan dari "dusta" lengkap terwakili. Di situ ada unsur kesengajaan mengatakan sesuatu yang tidak benar. Di situ ada maksud dan tujuan yang destruktif; niat untuk menghancurkan. Dan di situ ada bentuk penipuan yang sedemikian pintarnya, membuat korban sama sekali tidak menyadari bahwa sebenarnyalah ia sedang didustai atau diperdayai. Anda ingat bagaimana ibu Hawa - mewakili segenap keturunan manusia - ketika terjerat ke dalam perangkap Iblis? Ini terjadi sama sekali bukan karena ia kurang pengetahuan tentang apa yang dikehendaki Allah. Mengenai ini, o, lebih dari kebanyakan kita, ibu kita ini hafal di luar kepala. Kejatuhannya juga tidak disebabkan karena ia berhati jahat atau kurang gigih dalam berusaha untuk taat. Sama sekali tidak! Mengenai ini, o, lebih dari kebanyakan kita, ia telah berusaha sekuat tenaga untuk melawan bujukan Iblis. Tapi mengapa akhirnya Hawa toh jatuh juga? Pertanyaan yang tepat! Jawabnya adalah, karena ia termakan oleh fitnah Iblis. "Sekali-kali kamu tidak akan mati. Tetapi Allah mengatahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat" (Kejadian 3:4-5). Iblis, seperti biasa, tidak sepenuhnya memutar-balikkan kenyataan. Yang ia lakukan adalah memutar-balikkan cara pandang orang. Tapi justru inilah, bentuk "fitnah" dengan kualitas nomor satu! Yaitu ketika Iblis, melalui manuvernya itu, dengan cerdiknya memutar-balikkan cara pandang manusia terhadap Allah. Semula dengan tanpa protes, manusia menaati larangan Allah, sebab yakin bahwa setiap kehendak Allah pasti benar dan baik. Kini, oleh Iblis, sudut pandang ini mulai digoyang. Citra Allah sebagai bapa yang "maha baik" mulai digugat. Sebuah sudut pandang baru mulai disuntikkan pelan-pelan ke pembuluh darah. Yaitu gambaran Allah sebagai yang semena-mena mau memonopoli kekuasaan; Allah yang tidak mau disamai, sebab ingin terus memperlakukan manusia sebagai obyek semata. Toh bagi Iblis, ini hanya "sasaran antara" belaka. Tujuan yang lebih jauh adalah, begitu kebaikan Allah diragukan, maka roh pemberontakan pun mulai membara. Allah akan dipandang sebagai penindas, sedang Iblis justru dirangkul sebagai pembebas. Demikianlah sebuah contoh lagi, betapa dosa "dusta" tidak hanya terjadi ketika orang mengatakan sesuatu yang tidak benar. "Dusta" terjadi, setiap kali maksud jahat disajikan, walau dalam bungkus kain sutera "setengah kebenaran" sekalipun. "DUSTA" adalah salah satu contoh, di mana "dosa" tidak terletak pada tindakan itu sendiri an sich, melainkan lebih banyak ditentukan oleh "motivasi" dan "akibat" dari tindakan yang bersangkutan. Mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya, tidak serta merta membuat sebuah tindakan pantas disebut sebagai "dosa dusta". Bayangkan, misalnya, di suatu siang Anda bertamu ke kantor seseorang untuk menjajaki kemungkinan kerjasama usaha. Anda disambut dengan ramah-tamah, tapi tetap formal. Maklum, baru kenal. "Anda berkenan minum panas atau dingin? Atau barangkali makan siang?" Perut Anda sebenarnya menyambut dengan gembira tawaran ini. Tapi saya yakin, sesuai dengan tata krama, Anda tahu bahwa jawaban yang paling bijaksana adalah, kira-kira, "O terima kasih banyak! Tapi saya ingin menghormati waktu Anda yang sangat terbatas dan amat berharga. Lagi pula perut saya belum lapar benar. Karena itu, mungkin air putih dingin sudah cukup untuk saya". Nah, berdustakah Anda? Atau ini. Anda secara khusus dipanggil oleh dokter yang memeriksa nenek Anda. Dokter itu menjelaskan bahwa di samping penyakit jantung kronis, nenek Anda ternyata juga mengidap kanker ganas dalam stadium yang cukup lanjut. Dan ia sudah terlalu tua untuk menjalani operasi atau pun kemoterapi. Apa jawab Anda ketika nenek Anda bertanya, "Apa kata dokter? Apa saya akan sembuh?" Apakah Anda - agar tidak dinyatakan berdusta - akan mengatakan, "Kata dokter, nenek masih punya peluang hidup 2-3 bulan lagi. Karena itu, nenek ingin makan apa, mumpung masih bisa makan"? Atau, demi maksud baik, Anda berpikir lebih bijaksanalah bila Anda menjawab, kira-kira, "Kata dokter, dalam dua atau tiga hari ini, nenek sudah diperbolehkan pulang. Dokter sedang berusaha untuk mencari obat yang tepat untuk nenek. Jadi sementara ini, nenek nikmati sajalah apa yang ingin nenek nikmati. Terutama, mendekatlah kepada Tuhan". Artinya, dengan sengaja Anda tidak mengatakan seluruh kebenaran. KARENA kasus-kasus sejenis itulah, orang lalu membedakan antara "dusta hitam" dan "dusta putih". Saya sendiri lebih suka memakai istilah "berbohong" dan "menipu". Kedua-duanya sama-sama "berdusta". Tetapi yang satu dilakukan demi kebaikan, sedang yang lain dirancang untuk kejahatan. Tapi benarkah pembedaan itu? Saya persilakan Anda yang menjawabnya. Saya hanya ingin mengatakan, bahwa sejak manusia jatuh ke dalam dosa, maka manusia tak dapat lagi "telanjang" di hadapan yang lain. Manusia tak dapat lagi terbuka sepenuhnya di hadapan yang lain. Selalu saja ada ketelanjangan yang perlu ditutupi. Karena itu, terlepas dari soal benar-salahnya, "dusta" lebih merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Sebab itu, yang kemudian lebih menentukan adalah "motivasi" dan "konsekuensinya"; bukan "boleh-tidak"nya. Namun demikian toh perlu saya tekankan, bahwa secara umum kejujuran tetap merupakan kebijakan yang terbaik. Honesty is still the best policy. Bahwa kemudian, setelah diupayakan sepenuh tenaga, situasi menuntut yang lain, ini adalah soal lain. |