SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA melayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
DICARI: MURNIAWAN DAN MURNIATI Oleh: Eka Darmaputera Bila Juru Mazmur berkidung bahwa hanya "orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang boleh naik ke atas gunung Tuhan", Tuhan kita pun bersabda, "Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah". Memang benar, para ahli psikologi agama mengatakan bahwa pengalaman "perjumpaan" atau "persinggungan" antara manusia dan "Sang Maha Lain" (= The Wholly Other) atau "Sang Maha Kudus" (= The Sacred), merupakan "mysterium fascinans et tremendum". Atau, bila diterjemahkan, suatu pengalaman "misterius yang menggairahkan sekaligus menggentarkan". Namun, toh "melihat" Allah (= visio dei)--seperti yang dikatakan Yesus--merupakan tujuan terjauh, kepuasan tertinggi, sekaligus kebahagiaan terdalam, yang didambakan orang. "Sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar," begitu tulis Paulus melukiskan kedambaan itu, "tetapi (aha!) nanti kita akan melihat muka dengan muka". Dengan perkataan lain, sekarang hidup kita masih sarat dengan rahasia yang tak terungkap, dengan pertanyaan yang tak terjawab, dan dengan kerinduan yang tak terpuaskan. Sungguh tidak nyaman! Namun, tak akan selama-lamanya begitu. Seorang anak lahir cacat. Orangtuanya menjerit, meratap, memberontak, bertanya "Mengapa?" Rabbi Kushner, mendengar jawaban yang klise dan klasik, bahwa--bila kita tawakal--malapetaka pasti akan berujung pada kebaikan; o, ia meradang bukan main, tak dapat menerima. Membayangkan putrinya sendiri yang seperti seonggok kol busuk sejak lahir terkulai tanpa daya, ia berteriak, "Katakanlah, kebaikan macam apa yang dapat dihasilkan oleh tragedi seperti ini? Dari seorang bayi yang mengangkat kepalanya pun ia tak mampu? Tuhan macam apa yang sampai hati bermain-main dengan penderitaan seorang bayi, karena mau menunjukkan kebaikan-Nya?" Tapi tak ada jawaban. Yang ada cuma sepi. Cuma rumput yang bergoyang. Atau paling-paling sebaris jargon, seperangkat teori dan spekulasi. Dan misteri. * * * Ketidakpastian adalah sisi yang paling tidak menyenangkan dalam kehidupan manusia. Misalnya, akhir-akhir ini banyak orang menyambut dengan gembira nilai tukar rupiah yang menguat dengan cepat. Tapi yang benar-benar mengerti bisnis akan berkata, "Yang penting bukanlah penguatannya, melainkan kemantapan dan kepastian nilai tukarnya. Sebab cuma bila ada kepastian, orang dapat membuat kalkulasi dan perencanaan". Beberapa teman saya, dengan sangat berat hati, memutuskan untuk pindah ke luar negeri, bukan karena mereka tidak cinta Indonesia, bukan pula karena hidup di luar negeri itu enak. Kata mereka, "Untuk hidup dan berusaha, tidak ada yang lebih enak daripada Indonesia. Tapi di sini kami selalu waswas. Tak ada kepastian". "Melihat Allah" menjadi puncak kepuasan tertinggi serta dasar kebahagiaan terdalam yang didambakan semua orang, sebab ketika itulah semua rahasia akan terungkap, semua selubung akan tersingkap, dan semua pertanyaan akan terjawab. Hidup tak perlu lagi menabrak-nabrak dan menebak-nebak. Ada kepastian. Tapi, menurut Yesus, siapakah yang akan memperoleh karunia yang amat istimewa itu? Jelas, tidak semua orang. Jawab-Nya, "Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah". Pada satu pihak, ini berarti setiap orang--dari yang berkuasa sampai yang jelata, dari yang pandai sampai yang pandir, dari yang berpunya sampai yang papa--semua punya kesempatan dan kemungkinan yang sama untuk memperolehnya. Sebab persyaratan yang dituntut oleh Tuhan bukanlah ijazah S-3 atau pengalaman kerja atau jaminan bank atau SBKRI atau batas usia. Tidak! Persyaratannya cuma satu: "Berbahagialah yang suci hatinya". Semua orang punya potensi untuk "berhati suci". Namun, pada lain pihak, kita segera diusik sebuah tanda tanya serta keraguan yang amat besar, yaitu bila itulah persyaratannya, apakah akan ada yang bisa memenuhinya? Apakah dalam kenyataan, ada orang yang benar-benar "suci hati"-nya? Kalau yang "suci tampang"-nya, o, banyak. Yang "suci lagak"-nya, pasti tidak sedikit. Begitu pula yang "sok suci" tingkah-polahnya, o, segudang. Tapi orang-orang yang "suci hati"-nya? * * * Bagian Khotbah di Bukit yang satu ini, benar-benar memaksa kita untuk berhenti. Bukan untuk melihat ke luar, ke kanan atau ke kiri, ke depan atau ke belakang. Lalu dengan mata menyelidik mulai menginspeksi dan menilai orang-orang di sekitar kita, siapa kira-kira yang akan lulus. Pasti bukan empok Minah yang suka iri pada tetangga. Juga bukan si Badu yang mendadak sontak bisa membeli pesawat televisi baru berkaca datar dan berlayar lebar. Apa lagi si Polan yang kabarnya memelihara "tuyul". Bukan itu. Yang diminta dari kita adalah berhenti sejenak, lalu dengan jujur membedah diri, menengok ke diri sendiri. Melakukan introspeksi. Menguji diri. Apakah dengan jujur aku dapat mengatakan, bahwa aku adalah orang yang "suci hati"? Bukan cuma suci "topeng-topeng"-ku? Bukan cuma suci penampakan serta penampilanku? Seperti yang dikidungkan pemazmur, "suci hati" artinya adalah "murni hati". "Murni", artinya adalah "asli". Tanpa campuran. Bila "kopi", tanpa diberi bubuk jagung. Kalau "abon sapi" tanpa ditambahi nangka muda. Kalau "bensin" tanpa dicampuri minyak tanah. Dan kalau "Kristen", tanpa ditambah-tambahi tahayul, klenik, magic, baik yang berbaju Kristen maupun tidak. Kalau pilih Allah, ya Allah thok--titik. Tanpa "mammon". Kalau berjalan, punya tujuan yang pasti--tidak melenceng ke sini atau melancong ke sana, hingga kian jauh dari sasaran. Hidup dengan prinsip dan keyakinan yang satu, tidak mendua. Tapi, apakah ada orang yang benar-benar "suci hati"-nya? Dengan jujur, Paulus mengaku, dirinya pun belum--atau malah tak akan pernah--mampu mencapai tingkat "kemurnian" yang sempurna. Ia bersaksi, bahwa di dalam dirinya ada dua tarikan yang saling berkutat berusaha menarik dirinya. Yang satu adalah tarikan kuasa Roh Kudus, sedang yang lain adalah tarikan kuasa kedagingannya. Lalu, apa yang terjadi? Kuasa Roh Kudus dari hidupnya yang baru, membuat Paulus tahu apa yang baik, ingin apa yang baik, dan berusaha melakukan apa yang baik. Tragisnya--di luar daya kontrolnya--tarikan nafsu kedagingan dari hidupnya yang lama, membuat apa pun yang dilakukannya justru adalah yang jahat, yang tidak diinginkannya. Sebuah situasi yang oleh Martin Luther dirumuskan sebagai "simul iustus et peccator". Artinya, "telah dibenarkan, tapi sekaligus tetap pendosa". Tidak "murni". Siapa dapat menyangkal kebenaran pernyataan Paulus dan Luther tersebut? Hampir mustahil ada orang tidak mempunyai motif ganda, ketika melakukan sesuatu. Rekan saya gemar sekali memakai istilah "pelayanan" bila sedang "tugas luar". Toh saya berani mengatakan bahwa di situ hampir pasti bercampur pula motif mencari "penghasilan tambahan". Seorang dermawan begitu "takut"-nya disangka bahwa pemberiannya mempunyai pamrih, selalu menolak diketahui namanya. Tapi dapatkah dijamin bahwa motifnya benar-benar "murni"? Kemungkinan besar, itu dilakukannya demi kepuasan batin yang dicari-carinya. Bahkan seorang pendeta yang paling tulus hati, tidak sepenuhnya bebas dari bahaya mencari kepuasan diri setelah mengucapkan kotbah yang indah. John Bunyan menjawab seseorang yang memuji kotbahnya yang menyentuh di suatu pagi dengan wajah sedih berkata, "Iblis juga memberi komentar yang sama, ketika saya turun dari mimbar tadi". Maksudnya, kebanggaan serta kepuasan diri dapat dipakai oleh Iblis sebagai senjata yang ampuh untuk membuat motif perbuatan kita tidak "murni" lagi. Khotbah Yesus mengajak kita untuk membedah diri serta bertanya, apakah yang mendorong kita melakukan sesuatu? Kemuliaan Kristus atau prestise diri sendiri? Keinginan yang murni untuk mempersembahkan sesuatu, atau justru agar menerima sesuatu? Demi kepentingan dan kesejahteraan sesama, atau supaya merasa diri berjasa? |