SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

etika

Dari Hati Turun ke Mata
Oleh Eka Darmaputera

”Dari mana datangnya lintah? Dari sawah turun ke kali. Dari mana datangnya cinta? Dari mata turun ke hati” Begitu, bukan, bunyi pantun yang sangat kita kenal itu? ”Mata” dianggap sebagai asal-muasal dan pokok-pangkal hal-hal yang baik, tapi juga rahim yang melahirkan perkara-perkara yang jahat.

Tidak heran orang Jepang konon punya kepercayaan, bahwa wanita hamil sebaiknya melihat pemandangan yang indah-indah saja. Misalnya, bunga-bunga di taman nan beraneka-warna. Atau suasana telaga yang damai. Sebaliknya, mereka mesti dihindarkan dari melihat — apalagi melakukan — hal-hal yang jahat. Sampai membunuh seekor nyamuk atau kecoa sekali pun.

Menurut saya, kepercayaan tersebut banyak benarnya. Bukankah siapa pun dalam keadaan apa pun, melihat yang indah-indah selalu baik? Sebaliknya melihat, apa lagi terlibat, dengan yang jahat, amatlah riskan dan berbahaya – mudah tertular.

Tapi agaknya Firman Tuhan punya pandangan lain. Memang benar Yesus pernah mengatakan, bahwa ”mata itu pelita hati”. Artinya, mata punya fungsi dan posisi yang vital. Namun salahlah pandangan yang mengatakan, bahwa mata adalah ”biang kerok” segala sesuatu.

Bahkan bukan cuma salah, tapi juga berbahaya. Ia telah membuat banyak orang tertindas dan menderita, karena hak-hak asasi mereka dilanggar. Praktik-praktik sensor yang sewenang-wenang, misalnya, pada umumnya terjadi karena asumsi bahwa kalau saja ”mata” tidak melihat yang ”jahat-jahat”, maka kejahatan pun tidak akan terjadi.

Karena itu, apa yang boleh dan tidak boleh dilihat harus diatur dan dibatasi. Kita pasti masih ingat betul masa tatkala majalah-majalah tiba di tangan kita berlumuran tinta hitam. Ini adalah karena orang-orang seperti Ali Murtopo atau Harmoko percaya, bahwa kalau saja masyarakat tidak membaca yang ”buruk” (dalam pandangan mereka), otomatis segala sesuatu akan baik-baik semata.

TAPI sensor yang dimaksudkan sebagai alat pendidikan yang positif, dalam realitas ternyata lebih berfungsi sebagai alat penindasan yang destruktif. Dengan sengaja saya menyebutnya ”penindasan”, sebab memang itulah yang terjadi, ketika orang dicabut hak-haknya untuk berpikir bebas dan mengambil keputusan sendiri.

Padahal Tuhan saja menghormati kebebasan manusia. Ia bahkan memberi pilihan kepada manusia untuk tidak taat! Sebab itu merenggut hak dan kebebasan sesama adalah bertentangan dengan kehendak Allah. Kita mesti setuju dengan pendapat, bahwa kebebasan pers adalah pilar utama HAM. Kebebasan pers tercabut, maka semua hak asasi yang lain tinggal menunggu gilirannya.

Namun demikian, penolakan terhadap sensor tidak berarti bahwa pembatasan atau pengaturan tak perlu ada. Salah besarlah mengatakan, bahwa ”siapa saja boleh melihat apa saja, di mana saja, dan kapan saja”. Di dalam Alkitab kita membaca, bahwa tidak semua boleh dan dapat dilihat dengan bebas oleh manusia.

Ada hal-hal yang dilarang keras oleh Allah untuk dilihat. Misalnya, melihat wajah Allah. Ada hal-hal yang karena kefanaan kita tidak mungkin kita lihat. Misalnya, masa depan kita. Kemudian ada pula hal-hal yang sengaja dirahasiakan oleh Allah. Misalnya, kapan Hari Akhir dan ajal kita akan tiba. Lalu akhirnya, ada hal-hal yang walaupun dapat dilihat oleh mata kita, tapi sebaiknya jangan kita lihat.

PADA satu sisi, kebebasan adalah bagian hakiki manusia. Begitulah Allah menciptakannya dan menghendakinya. Sebab itu pantang dinafikan. Namun demikian, kebebasan tersebut tidak tanpa batas. Sebab pada sisi lain, kebebasan tanpa batas selalu bersifat negatif dan destruktif. Mengapa? Karena ini juga bertentangan dengan kodrat manusia.

Kodrat manusia adalah makhluk, ciptaan, karena itu fana. Serba terbatas. Bagaikan singa dalam kurungan. Tampaknya saja garang dan meyakinkan, tapi cuma sampai batas tertentu. Ia tidak bisa keluar dari situ.

Upaya manusia untuk melawan dan keluar dari keterbatasannya, pasti berakibat satu di antara dua. Atau ia binasa seperti ikan yang menolak hidup di dalam air. Atau ia celaka karena tak mampu mengendalikan kebebasannya sendiri – seperti mengendarai mobil yang remnya ”blong”. ”Kebebasan” yang ”kebablasan”.

Jadi bagaimana? Jawabnya adalah, pembatasan atau sensor – sampai pada batas tertentu – penting dan perlu. Tapi si penyensor juga wajib terus-menerus disensor, dibatasi dan diawasi! Di sinilah masalah kita yang paling krusial.

UDARA rohani di mana kita hidup – sebagaimana halnya dengan udara ”jasmani” di sekitar kita – menurut Firman Tuhan telah mengalami pencemaran atau terpolusi dengan hebatnya. Inilah yang dimaksudkan Paulus, ketika ia menulis tentang perjuangan melawan ”penghulu dunia yang gelap” dan ”roh-roh jahat di udara”.

Karena itu, kita perlu ”filter” atau ”sensor rohani” pula. Menurut Firman Tuhan, ”lembaga sensor rohani” yang paling kredibel adalah Roh Kudus. Dia-lah yang tahu dan mampu mem”filter” apa yang boleh masuk dan apa yang harus keluar. Sedemikian rupa, sehingga semua yang keluar menyenangkan hati Allah dan mendatangkan rakhmat bagi sesama. Sedangkan yang masuk melahirkan rasa lapang dan damai sejahtera di hati kita. Tidak sebaliknya, malah membuat nafas rohani kita menjadi sesak.

Tapi bagaimana ”membuat” agar Roh Kudus benar-benar berfungsi?. Sama seperti untuk dapat memanfaatkan komputer, kita mesti pertama-tama mengetahui cara bekerjanya, kita juga perlu mengetahui bagaimana Roh Kudus bekerja. Alkitab antara lain menjelaskan sebagai berikut.

Roh Kudus atau ”nafas kehidupan yang dari Allah”, adalah salah satu unsur terpenting yang membuat manusia menjadi manusia. Tanpa itu, manusia (= adam) hanyalah debu (= adama) belaka.

Namun kita diberitahu bahwa manusia tidak cuma ”adama”. Manusia adalah suatu kesatuan tubuh, jiwa dan roh – dan karenanya, ia berakal budi dan berhati nurani. Dalam hal memiliki ”tubuh”, manusia tidak berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Dalam hal memiliki ”jiwa”, manusia juga tidak berbeda dengan binatang-binatang tertentu.

Hanya dalam satu hal, manusia benar-benar unik, tak ada duanya. Yaitu dalam hal keberadaan ”Roh Allah” di dalam dirinya. ”Roh Allah” inilah yang bekerja di dalam diri manusia, melalui ”akal budi” dan ”hati nurani”nya – dan membuatnya menjadi makhluk yang istimewa, ”gambar Allah”.

BILA menurut pandangan populer dunia ini, semua tindakan manusia – baik maupun buruk – ”dari mata turun ke hati”, Alkitab mengatakan yang sebaliknya. Yaitu, segalanya bertolak dan berpangkal dari ”hati”

Kalau yang keluar adalah tindakan yang baik, itu berarti Roh Kudus yang berfungsi. Sebaliknya bila yang jahat dan kotor yang keluar, maka roh kegelapan-lah yang beroperasi. Tapi bagaimana pun, tak mungkin manusia otonom sepenuh-penuhnya. Manusia cuma punya pilihan: menjadi ”hamba Allah” atau ”hamba dosa”; ”hidup menurut Roh” atau ”hidup menurut daging”.

Kitab Kejadian mengisahkan peristiwa yang menggambarkan pola proses kejatuhan manusia ke dalam dosa. Pola proses yang terus-menerus terulang sampai sekarang. Di situ kita membaca, antara lain, ”Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya”.

Kutipan kita dimulai dengan kalimat ”perempuan itu melihat”. Sepintas lalu ini memberi kesan, seolah-olah proses dosa berawal dari ”mata”. ”Dari mata turun ke hati”. Padahal tidak. Tindakan ”perempuan itu melihat” tidak lebih adalah kelanjutan dari suatu proses batin sebelumnya.

Yaitu, pertama, ketika manusia berhasil diperdayakan sehingga bersedia berdialog dengan si Iblis. Padahal seharusnya manusia hanya boleh mendengarkan Allah saja. Dan kedua, ketika kemudian manusia – di dalam hatinya – mulai meragukan kebenaran firman dan titah Tuhan.

Proses paling awal kejatuhan manusia selalu adalah, ketika di hatinya secara tanpa sadar ia ”menyejajarkan” Allah dengan Iblis. Maksud saya ialah, ketika hati manusia mulai mendua, mendengarkan sini mendengarkan sana. Menyangka bahwa ia memiliki wewenang untuk pada akhirnya memutuskan siapa yang benar di antara keduanya: Allah atau Iblis. Padahal seharusnya ia hanya boleh taat kepada Allah. Prinsip yang berlaku adalah: ”Bukan karena benar maka sesuatu itu adalah perintah Allah, tetapi karena sesuatu itu adalah perintah Allah maka ia benar”.

BEGITU manusia membuka hati untuk mendengarkan Iblis di samping Allah, ia membuka peluang bagi Iblis untuk melancarkan serangan yang mematikan. Dari mula-mula membanding-bandingkan antara Allah dan Iblis, proses melanjut dengan meragukan Allah dan kian mempercayai Iblis. ”Jangan-jangan embah dukun yang benar!”

”Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat”. Atau, ”Ayo lakukan saja! Jangan terlalu pusing soal Allah. Sudah berapa kali kamu berteriak dalam doamu kepadaNya? Adakah manfaatnya? Apakah Ia mendengarkanmu? Mengapa tidak coba ”orang pinter” sekarang?”.

Tatkala keraguan akan kebenaran dan kebaikan Allah mulai tersemai di hati Anda, Anda telah tiba di tapal batas antara dosa sebagai ”niat” dan dosa sebagai ”tindakan”. Inilah saatnya mata mulai berfungsi. Ia mengajak Anda berpaling ke arah yang salah, dan memerosokkan Anda semakin dalam ke perangkap dosa. ”Lalu ia mengambil buahnya untuk dimakan dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya”.

Herankah kita sekarang, mengapa dalam Kotbah di Bukit Yesus begitu menekankan peran hati? Dosa, dalam bentuknya yang paling nyata, memang berwujud tindakan. Tapi dosa tidak berpangkal di situ. Tindakan hanyalah out-put saja dari apa yang ada di dalam hati.

Mata yang tertarik lalu melirik, serta tangan yang meraih lantas membagi, adalah sekadar konsekuensi logis dari yang sebelumnya menggejolak di sanubari. Seperti uap yang dengan sendirinya keluar dari ketel, ketika air yang dijerang mulai mendidih. ”Dosa” ada di ketel, bukan di uap. Tanpa air yang mendidih, uap pun tiada.

Yesus menekankan apa yang tersemai di hati manusia, sebab itulah yang akan kita tuai dalam bentuk dosa. Membunuh, misalnya, adalah tindakan dosa. Tidak ada yang mengatakan tidak. Begitu pula dengan mencuri atau berzinah atau berdusta. Tapi bila dosa cuma itu maka, wah, dengan lega saya dapat membusungkan dada dan berkata, ”Saya bersih tanpa dosa! Sebab saya toh tidak pernah mengambil jiwa orang, atau mencuri milik orang, atau berzina dengan istri orang, atau menipu orang”.

Menanggapi ini, Yesus akan berkata, ”Kalau dosa adalah itu, maka situasi-mu sungguh memprihatinkan dan tidak ketulungan. Sebab segala sesuatu telah amat terlambat. Ibarat membawa pasien ke bagian gawat darurat, ketika kedaan benar-benar sudah gawat dan sudah darurat. Ya apa lagi yang dapat dilakukan?!

Padahal besar kemungkinan yang bersangkutan masih dapat ditolong, sekiranya ia mau mulai berobat, ketika nafasnya mulai kadang-kadang sesak, atau pencernaannya mulai sering terganggu, atau kepalanya mulai mudah pening, atau tidurnya mulai kurang lelap. Ketika segala sesuatu baru ”mulai”.

SESEORANG, kata Yesus, tidak baru berdosa setelah ia membunuh atau berzina. Seperti pada beberapa penyakit tertentu, penyakit itu telah mulai sejak amat awal. Dosa membunuh berawal dari membiarkan diri dikuasai amarah. Sedang dosa berzina, menurut Yesus, telah terjadi ketika orang melarutkan diri tanpa melawan dalam arus nafsu kedagingannya Mungkin sambil berkata, ”Toh saya tidak berbuat apa-apa?!”

Ismail Marzuki dalam salah satu gubahannya, mengungkapkan apa yang saya kemukakan itu. Yaitu ketika sang pemuja gadis ”Ayati” setengah bertanya mengatakan, ”Dosakah hamba, memuja dikau dalam mimpi. Hanya dalam mimpi?!” Toh cuma dalam mimpi, tidak apa-apa ‘kan?!

Yesus berkata, ”Tidak” Sel kanker yang menyebar liar begitu berbahaya ke seluruh tubuh dimulai dengan satu sel saja! Dosa membunuh berawal dari amarah yang tidak segera dikendalikan. Amarah ini berubah menjadi kebencian. Kemudian kebencian bermetamorfose menjadi dendam. Dan akhirnya dendam hanya menanti kesempatan untuk menjadi tindakan.. Sebelum orang membunuh dengan tangannya, ia terlebih dahulu membunuh dalam hatinya.

Tak ada ”dosa kecil” atau ”dosa besar”. Sebab ”dosa besar” selalu berasal dan berawal dari ”dosa kecil” yang dibiarkan. Bagaikan luka kecil di kulit. Sebaliknya dari pada diobati, luka kecil tersebut dikorek-korek terus setiap kali. Maka luka pun menganga lagi. Dan luka ini akan terus berkembang menjadi kian berbahaya.

Anda bertanya, mengapa ”Kesepakatan Malino I”, nampaknya tak akan berumur panjang? Sebab cuma senjata di tangan saja yang diminta untuk diserahkan. Bukan hati yang terpanggang dendam.

Dari mana datangnya dosa? Dari hati turun ke mata. Dari mana datangnya celaka? Dari luka kecil yang dibiarkan menganga!*