etika Dari Hati Turun ke Mata
Oleh Eka Darmaputera
”Dari mana datangnya lintah? Dari sawah turun ke kali. Dari mana
datangnya cinta? Dari mata turun ke hati” Begitu, bukan, bunyi pantun
yang sangat kita kenal itu? ”Mata” dianggap sebagai asal-muasal dan
pokok-pangkal hal-hal yang baik, tapi juga rahim yang melahirkan
perkara-perkara yang jahat.
Tidak heran orang Jepang konon punya kepercayaan, bahwa wanita hamil
sebaiknya melihat pemandangan yang indah-indah saja. Misalnya,
bunga-bunga di taman nan beraneka-warna. Atau suasana telaga yang damai.
Sebaliknya, mereka mesti dihindarkan dari melihat — apalagi melakukan —
hal-hal yang jahat. Sampai membunuh seekor nyamuk atau kecoa sekali pun.
Menurut saya, kepercayaan tersebut banyak benarnya. Bukankah siapa pun
dalam keadaan apa pun, melihat yang indah-indah selalu baik? Sebaliknya
melihat, apa lagi terlibat, dengan yang jahat, amatlah riskan dan
berbahaya – mudah tertular.
Tapi agaknya Firman Tuhan punya pandangan lain. Memang benar Yesus
pernah mengatakan, bahwa ”mata itu pelita hati”. Artinya, mata punya
fungsi dan posisi yang vital. Namun salahlah pandangan yang mengatakan,
bahwa mata adalah ”biang kerok” segala sesuatu.
Bahkan bukan cuma salah, tapi juga berbahaya. Ia telah membuat banyak
orang tertindas dan menderita, karena hak-hak asasi mereka dilanggar.
Praktik-praktik sensor yang sewenang-wenang, misalnya, pada umumnya
terjadi karena asumsi bahwa kalau saja ”mata” tidak melihat yang ”jahat-jahat”,
maka kejahatan pun tidak akan terjadi.
Karena itu, apa yang boleh dan tidak boleh dilihat harus diatur dan
dibatasi. Kita pasti masih ingat betul masa tatkala majalah-majalah tiba
di tangan kita berlumuran tinta hitam. Ini adalah karena orang-orang
seperti Ali Murtopo atau Harmoko percaya, bahwa kalau saja masyarakat
tidak membaca yang ”buruk” (dalam pandangan mereka), otomatis segala
sesuatu akan baik-baik semata.
TAPI sensor yang dimaksudkan sebagai alat pendidikan yang positif, dalam
realitas ternyata lebih berfungsi sebagai alat penindasan yang
destruktif. Dengan sengaja saya menyebutnya ”penindasan”, sebab memang
itulah yang terjadi, ketika orang dicabut hak-haknya untuk berpikir
bebas dan mengambil keputusan sendiri.
Padahal Tuhan saja menghormati kebebasan manusia. Ia bahkan memberi
pilihan kepada manusia untuk tidak taat! Sebab itu merenggut hak dan
kebebasan sesama adalah bertentangan dengan kehendak Allah. Kita mesti
setuju dengan pendapat, bahwa kebebasan pers adalah pilar utama HAM.
Kebebasan pers tercabut, maka semua hak asasi yang lain tinggal menunggu
gilirannya.
Namun demikian, penolakan terhadap sensor tidak berarti bahwa pembatasan
atau pengaturan tak perlu ada. Salah besarlah mengatakan, bahwa ”siapa
saja boleh melihat apa saja, di mana saja, dan kapan saja”. Di dalam
Alkitab kita membaca, bahwa tidak semua boleh dan dapat dilihat dengan
bebas oleh manusia.
Ada hal-hal yang dilarang keras oleh Allah untuk dilihat. Misalnya,
melihat wajah Allah. Ada hal-hal yang karena kefanaan kita tidak mungkin
kita lihat. Misalnya, masa depan kita. Kemudian ada pula hal-hal yang
sengaja dirahasiakan oleh Allah. Misalnya, kapan Hari Akhir dan ajal
kita akan tiba. Lalu akhirnya, ada hal-hal yang walaupun dapat dilihat
oleh mata kita, tapi sebaiknya jangan kita lihat.
PADA satu sisi, kebebasan adalah bagian hakiki manusia. Begitulah Allah
menciptakannya dan menghendakinya. Sebab itu pantang dinafikan. Namun
demikian, kebebasan tersebut tidak tanpa batas. Sebab pada sisi lain,
kebebasan tanpa batas selalu bersifat negatif dan destruktif. Mengapa?
Karena ini juga bertentangan dengan kodrat manusia.
Kodrat manusia adalah makhluk, ciptaan, karena itu fana. Serba terbatas.
Bagaikan singa dalam kurungan. Tampaknya saja garang dan meyakinkan,
tapi cuma sampai batas tertentu. Ia tidak bisa keluar dari situ.
Upaya manusia untuk melawan dan keluar dari keterbatasannya, pasti
berakibat satu di antara dua. Atau ia binasa seperti ikan yang menolak
hidup di dalam air. Atau ia celaka karena tak mampu mengendalikan
kebebasannya sendiri – seperti mengendarai mobil yang remnya ”blong”.
”Kebebasan” yang ”kebablasan”.
Jadi bagaimana? Jawabnya adalah, pembatasan atau sensor – sampai pada
batas tertentu – penting dan perlu. Tapi si penyensor juga wajib
terus-menerus disensor, dibatasi dan diawasi! Di sinilah masalah kita
yang paling krusial.
UDARA rohani di mana kita hidup – sebagaimana halnya dengan udara
”jasmani” di sekitar kita – menurut Firman Tuhan telah mengalami
pencemaran atau terpolusi dengan hebatnya. Inilah yang dimaksudkan
Paulus, ketika ia menulis tentang perjuangan melawan ”penghulu dunia
yang gelap” dan ”roh-roh jahat di udara”.
Karena itu, kita perlu ”filter” atau ”sensor rohani” pula. Menurut
Firman Tuhan, ”lembaga sensor rohani” yang paling kredibel adalah Roh
Kudus. Dia-lah yang tahu dan mampu mem”filter” apa yang boleh masuk dan
apa yang harus keluar. Sedemikian rupa, sehingga semua yang keluar
menyenangkan hati Allah dan mendatangkan rakhmat bagi sesama. Sedangkan
yang masuk melahirkan rasa lapang dan damai sejahtera di hati kita.
Tidak sebaliknya, malah membuat nafas rohani kita menjadi sesak.
Tapi bagaimana ”membuat” agar Roh Kudus benar-benar berfungsi?. Sama
seperti untuk dapat memanfaatkan komputer, kita mesti pertama-tama
mengetahui cara bekerjanya, kita juga perlu mengetahui bagaimana Roh
Kudus bekerja. Alkitab antara lain menjelaskan sebagai berikut.
Roh Kudus atau ”nafas kehidupan yang dari Allah”, adalah salah satu
unsur terpenting yang membuat manusia menjadi manusia. Tanpa itu,
manusia (= adam) hanyalah debu (= adama) belaka.
Namun kita diberitahu bahwa manusia tidak cuma ”adama”. Manusia adalah
suatu kesatuan tubuh, jiwa dan roh – dan karenanya, ia berakal budi dan
berhati nurani. Dalam hal memiliki ”tubuh”, manusia tidak berbeda dengan
makhluk-makhluk lain. Dalam hal memiliki ”jiwa”, manusia juga tidak
berbeda dengan binatang-binatang tertentu.
Hanya dalam satu hal, manusia benar-benar unik, tak ada duanya. Yaitu
dalam hal keberadaan ”Roh Allah” di dalam dirinya. ”Roh Allah” inilah
yang bekerja di dalam diri manusia, melalui ”akal budi” dan ”hati
nurani”nya – dan membuatnya menjadi makhluk yang istimewa, ”gambar
Allah”.
BILA menurut pandangan populer dunia ini, semua tindakan manusia – baik
maupun buruk – ”dari mata turun ke hati”, Alkitab mengatakan yang
sebaliknya. Yaitu, segalanya bertolak dan berpangkal dari ”hati”
Kalau yang keluar adalah tindakan yang baik, itu berarti Roh Kudus yang
berfungsi. Sebaliknya bila yang jahat dan kotor yang keluar, maka roh
kegelapan-lah yang beroperasi. Tapi bagaimana pun, tak mungkin manusia
otonom sepenuh-penuhnya. Manusia cuma punya pilihan: menjadi ”hamba
Allah” atau ”hamba dosa”; ”hidup menurut Roh” atau ”hidup menurut daging”.
Kitab Kejadian mengisahkan peristiwa yang menggambarkan pola proses
kejatuhan manusia ke dalam dosa. Pola proses yang terus-menerus terulang
sampai sekarang. Di situ kita membaca, antara lain, ”Perempuan itu
melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya,
lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia
mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada
suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya”.
Kutipan kita dimulai dengan kalimat ”perempuan itu melihat”. Sepintas
lalu ini memberi kesan, seolah-olah proses dosa berawal dari ”mata”.
”Dari mata turun ke hati”. Padahal tidak. Tindakan ”perempuan itu
melihat” tidak lebih adalah kelanjutan dari suatu proses batin
sebelumnya.
Yaitu, pertama, ketika manusia berhasil diperdayakan sehingga bersedia
berdialog dengan si Iblis. Padahal seharusnya manusia hanya boleh
mendengarkan Allah saja. Dan kedua, ketika kemudian manusia – di dalam
hatinya – mulai meragukan kebenaran firman dan titah Tuhan.
Proses paling awal kejatuhan manusia selalu adalah, ketika di hatinya
secara tanpa sadar ia ”menyejajarkan” Allah dengan Iblis. Maksud saya
ialah, ketika hati manusia mulai mendua, mendengarkan sini mendengarkan
sana. Menyangka bahwa ia memiliki wewenang untuk pada akhirnya
memutuskan siapa yang benar di antara keduanya: Allah atau Iblis.
Padahal seharusnya ia hanya boleh taat kepada Allah. Prinsip yang
berlaku adalah: ”Bukan karena benar maka sesuatu itu adalah perintah
Allah, tetapi karena sesuatu itu adalah perintah Allah maka ia benar”.
BEGITU manusia membuka hati untuk mendengarkan Iblis di samping Allah,
ia membuka peluang bagi Iblis untuk melancarkan serangan yang mematikan.
Dari mula-mula membanding-bandingkan antara Allah dan Iblis, proses
melanjut dengan meragukan Allah dan kian mempercayai Iblis.
”Jangan-jangan embah dukun yang benar!”
”Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada
waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti
Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat”. Atau, ”Ayo lakukan saja!
Jangan terlalu pusing soal Allah. Sudah berapa kali kamu berteriak dalam
doamu kepadaNya? Adakah manfaatnya? Apakah Ia mendengarkanmu? Mengapa
tidak coba ”orang pinter” sekarang?”.
Tatkala keraguan akan kebenaran dan kebaikan Allah mulai tersemai di
hati Anda, Anda telah tiba di tapal batas antara dosa sebagai ”niat” dan
dosa sebagai ”tindakan”. Inilah saatnya mata mulai berfungsi. Ia
mengajak Anda berpaling ke arah yang salah, dan memerosokkan Anda
semakin dalam ke perangkap dosa. ”Lalu ia mengambil buahnya untuk
dimakan dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan
dia, dan suaminya pun memakannya”.
Herankah kita sekarang, mengapa dalam Kotbah di Bukit Yesus begitu
menekankan peran hati? Dosa, dalam bentuknya yang paling nyata, memang
berwujud tindakan. Tapi dosa tidak berpangkal di situ. Tindakan hanyalah
out-put saja dari apa yang ada di dalam hati.
Mata yang tertarik lalu melirik, serta tangan yang meraih lantas membagi,
adalah sekadar konsekuensi logis dari yang sebelumnya menggejolak di
sanubari. Seperti uap yang dengan sendirinya keluar dari ketel, ketika
air yang dijerang mulai mendidih. ”Dosa” ada di ketel, bukan di uap.
Tanpa air yang mendidih, uap pun tiada.
Yesus menekankan apa yang tersemai di hati manusia, sebab itulah yang
akan kita tuai dalam bentuk dosa. Membunuh, misalnya, adalah tindakan
dosa. Tidak ada yang mengatakan tidak. Begitu pula dengan mencuri atau
berzinah atau berdusta. Tapi bila dosa cuma itu maka, wah, dengan lega
saya dapat membusungkan dada dan berkata, ”Saya bersih tanpa dosa! Sebab
saya toh tidak pernah mengambil jiwa orang, atau mencuri milik orang,
atau berzina dengan istri orang, atau menipu orang”.
Menanggapi ini, Yesus akan berkata, ”Kalau dosa adalah itu, maka
situasi-mu sungguh memprihatinkan dan tidak ketulungan. Sebab segala
sesuatu telah amat terlambat. Ibarat membawa pasien ke bagian gawat
darurat, ketika kedaan benar-benar sudah gawat dan sudah darurat. Ya apa
lagi yang dapat dilakukan?!
Padahal besar kemungkinan yang bersangkutan masih dapat ditolong,
sekiranya ia mau mulai berobat, ketika nafasnya mulai kadang-kadang
sesak, atau pencernaannya mulai sering terganggu, atau kepalanya mulai
mudah pening, atau tidurnya mulai kurang lelap. Ketika segala sesuatu
baru ”mulai”.
SESEORANG, kata Yesus, tidak baru berdosa setelah ia membunuh atau
berzina. Seperti pada beberapa penyakit tertentu, penyakit itu telah
mulai sejak amat awal. Dosa membunuh berawal dari membiarkan diri
dikuasai amarah. Sedang dosa berzina, menurut Yesus, telah terjadi
ketika orang melarutkan diri tanpa melawan dalam arus nafsu
kedagingannya Mungkin sambil berkata, ”Toh saya tidak berbuat apa-apa?!”
Ismail Marzuki dalam salah satu gubahannya, mengungkapkan apa yang saya
kemukakan itu. Yaitu ketika sang pemuja gadis ”Ayati” setengah bertanya
mengatakan, ”Dosakah hamba, memuja dikau dalam mimpi. Hanya dalam mimpi?!”
Toh cuma dalam mimpi, tidak apa-apa ‘kan?!
Yesus berkata, ”Tidak” Sel kanker yang menyebar liar begitu berbahaya ke
seluruh tubuh dimulai dengan satu sel saja! Dosa membunuh berawal dari
amarah yang tidak segera dikendalikan. Amarah ini berubah menjadi
kebencian. Kemudian kebencian bermetamorfose menjadi dendam. Dan
akhirnya dendam hanya menanti kesempatan untuk menjadi tindakan..
Sebelum orang membunuh dengan tangannya, ia terlebih dahulu membunuh
dalam hatinya.
Tak ada ”dosa kecil” atau ”dosa besar”. Sebab ”dosa besar” selalu
berasal dan berawal dari ”dosa kecil” yang dibiarkan. Bagaikan luka
kecil di kulit. Sebaliknya dari pada diobati, luka kecil tersebut
dikorek-korek terus setiap kali. Maka luka pun menganga lagi. Dan luka
ini akan terus berkembang menjadi kian berbahaya.
Anda bertanya, mengapa ”Kesepakatan Malino I”, nampaknya tak akan
berumur panjang? Sebab cuma senjata di tangan saja yang diminta untuk
diserahkan. Bukan hati yang terpanggang dendam.
Dari mana datangnya dosa? Dari hati turun ke mata. Dari mana datangnya
celaka? Dari luka kecil yang dibiarkan menganga!* |