Bukan Sebabnya, Tapi Responsnya
Oleh Eka Darmaputera
Terbujur di pembaringan, mengaduh di puncak kesakitan, biasanya membuat
orang berfikir, "Ah, sekiranya saja Tuhan mau datang, dan bersedia
menjelaskan apa sebab musabab semua penderitaan ini! Oh, waktu itu,
betapa leganya hatiku, dan puasnya batinku - pasti! Aku akan mampu
menerima "nasib"ku. Sebab paling sedikit kini aku mengerti, mengapa
semua yang terjadi ini, terjadi".
Ayub - seperti kita -- juga pernah berfikir begitu. "Ah, kalau saja
Tuhan mau datang -- sekali saja -- memberi penjelasan!" Dan dalam kasus
Ayub, ternyata Tuhan benar-benar datang. "Dalam badai," begitu kata Ayub
40:1. Tapi legakah Ayub karenanya? Terpenuhikah harapan-harapannya?
Jawabnya adalah: Tidak!
Pertama, kemungkinan besar Ayub - seperti kita - tentu membayangkan,
bahwa Allah akan datang dengan kalimat-kalimat yang menghibur meneguhkan,
dengan sikap hangat dan lembut kebapaan, dan dengan senyum yang
menyalakan kembali harapan yang nyaris padam.
Memang sepantasnya begitu! Sebab bukankah Ayub adalah kekasih dan putra
kebanggaan Allah! Dengarlah apa yang Ia katakan kepada Iblis, "Apakah
engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorang pun di bumi
seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan
menjauhi kejahatan" (Ayuib 1:8). Dan hamba kekasih serta kebanggaan
Allah itu, kini sedang tertekan, kesakitan, dan menderita teramat sangat!
* * *
NAMUN itukah yang Allah lakukan? Datang dengan lembut, ramah dan sikap
menghibur? Jawabnya adalah: Tidak! Sebaliknyalah, Ia datang dengan wajah
merah padam. Mungkin mendobrak pintu, mungkin menggebrak meja, dan
dengan suara mengguntur berkata, "Siapakah dia yang menggelapkan
keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan?
Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Aku akan menanyai engkau, supaya
engkau memberitahu Aku" (38:2-3). Astaga!
Saya bayangkan, Ayub pasti terpana. Shock berat. Mulutnya terbuka,
matanya terbelalak, tak bisa percaya. Hal yang tak pernah ia harapkan
bisa terjadi adalah, bahwa Allah datang membombardirnya dengan daftar
pertanyaan yang panjang. Bukan membawa jawaban!
Tuhan seakan-akan tak peduli sedikit pun akan 35 pasal yang sarat dengan
perdebatan dan kontroversi yang panas, yang sampai pada akhirnya tetap
menyisakan pertanyaan-pertanyaan penting yang tak terjawab. Pendeta yang
paling buruk pun, saya kira, tak akan tega melakukan seperti apa yang
Allah lakukan, terhadap warga jemaatnya yang tengah limbung kehilangan
pegangan di limbah kesakitan. Toh Allah melakukannya. Ini tentu sangat
mengherankan!
Hal kedua yang kita baca adalah, bahwa Ia bukan hanya tidak mau menjawab
pertanyaan-pertanyaan Ayub - yang nota bene adalah
pertanyaan-pertanyaann yang sah --, eee Ia malah berpidato panjang lebar
mengenai hal-hal yang sama sekali tidak punya relevansi apa-apa.
Kepada orang yang sedang menderita kesakitan, Allah malah memberi kuliah
atau ceramah tentang alam semesta. Tentang matahari trerbit, tentang
hujan dan salju, tentang badai, tentang singa, tentang kambing hutan,
tentang keledai liar, tentang burung onta, tentang kuda, tentang
burung-burung. (Ayub 38 dan 39).
Setiap selesai menjelaskan satu pokok, Ia juga menyodok dengan
pertanyaan yang membuat Ayub terhempas ke sudut, " Ayub, mampukah engkau
sedikit saja meniru apa yang Aku lakukan? Apakah engkau cukup arif untuk
memerintah dunia? Mempunyai lengan seperti lengan-Ku? Dan suara
mengguntur seperti suara-Ku? Ayo jawab, Ayub, jawab!"
Kadang-kadang tidak puas dengan itu, jawaban Allah masih disertai pula
dengan sarkasme yang menusuk hati, misalnya, "Tentu engkau mengenalnya,
karena ketika itu engkau telah lahir, dan jumlah hari-harimu telah
banyak" (38:21) Saya bayangkan nada yang mengejek dan mulut yang
tersenyum sinis.
* * *
PERTANYAAN kita tentu adalah, mengapa Allah menjawab begitu, dan di
saat-saat seperti itu? Mengapa Tuhan seolah-olah tidak mempedulikan luka
batin Ayub? Terjang terus, sekali pun lawan telah jatuh?
Kelihatan dengan amat jelas, betapa Allah menolak memberi jawaban yang
logis yang rinci, butir demi butir, mengenai sebab musabab kesakitan dan
penderitaan. Ia juga menampik dengan tegas "tuntutan" Ayub untuk
memberikan "pertanggung-jawaban". Ketika banyak orang Kristen mengangkat
diri menjadi "pahlawan iman" dan "pembela" Allah dalam masalah kesakitan
dan penderitaan ini, eee, Allah sendiri tidak merasa perlu membuat
pembelaan diri atau "apologia". Allah tidak memerlukan pembelaan!
Apa sih yang sebenarnya Allah inginkan dari Ayub? Alkitab ingin
memperlihatkan betapa Allah amat serius dengan apa yang Ia nyatakan.
Bahwa isu kesakitan dan penderitaan bukanlah isu enteng, yang cukup
dijawab dengan luapan -luapan spontan semata. Allah menuntut sikap yang
benar dan tepat - bukan teori!
Apa yang Ia mau katakan? Ini: BAHWA SELAMA MANUSIA NYARIS TIDAK TAHU
APA-APA TENTANG BEKERJANYA ALAM SEMESTA - TERMASUK HAL-HAL YANG
KELIHATANNYA REMEH DAN BIASA (MATAHARI TERBIT DAN TENGGELAM, ANGIN TOPAN
DAN HUJAN, SINGA DAN KAMBING HUTAN) - JANGANLAH IA BERLAGAK BISA MENJADI
PENENTU APA YANG BENAR DAN APA YANG SALAH (= MORALITAS) DI ALAM INI.
Terlebih-lebih, bila Tuhan pun mau ia adili!
Lalu apa yang Ia inginkan? Cuma satu ini: KEPASRAHAN DIRI YANG PENUH,
UTUH DAN MENYELURUH KEPADA APA PUN - SEKALI LAGI, KEPADA APA PUN - YANG
DIPERBUAT ALLAH. Janganlah pernah terpikir di benak Anda, untuk duduk di
kursi hakim, lalu mengadili Allah, karena apa yang Ia lakukan sehubungan
dengan kesakitan dan penderitaan manusia.
Selama Anda tak mampu mengatur datangnya musim kemarau dan musim
penghujan, menciptakan mahluk-mahluk kecil seperti kecambah atau
kecebong, Anda tidak berhak, dan tidak memenuhi syarat untuk mengadili
Allah, sang Maha Pencipta.
Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Barangsiapa berniat untuk
menghakimi Allah, biarlah ia terlebih dahulu meyadari kekecilannya dan
kebesaran-Nya! Dan sebaiknya Anda percaya saja sepenuh hati Anda, bahwa
Ia yang berkuasa mencipta kita dari tiada menjadi ada, masakan Ia tak
berkuasa untuk memelihara dan menjaga kita?
* * *
DALAM kaitan ini, sungguh menarik mengikuti komentar Philip Yancey
terhadap buku Harold Kushner, "When Bad Things Happen to Good People",
yang amat termashur itu. Yancey mengritik Kushner, karena yang disebut
belakangan - sekalipun percaya akan kebaikan Allah - toh mempertanyakan
kemampuan serta kemahakuasaan-Nya.
Menurut Kushner, Allah itu baik. Ia tidak suka melihat anak-anak-Nya
menderita. Ia pun berupaya mencegah dan menolong mereka. Tapi, apa boleh
buat, Ia tak cukup mampu untuk itu. Mengapa? Karena Ia adalah Allah
keadilan, bukan Allah kekuatan. Oleh karena itu, kita berharap terlalu
banyak. Bukan sapunya yang salah, bukan, kalau sapu tersebut tidak dapat
kita pakai untuk, misalnya, bermain musik?
Yancey mempertanyakan dalil Kushner ini. Atas dasar apakah ia dapat
mengatakan, bahwa Allah seolah-olah berkata kepada Ayub, "Yub, maaf
banget deh! Aku sebenarnya ingin menolong, tapi mau bagaimana lagi, Aku
tak mampu"?
Sebaliknyalah, begitu Yancey, yang kita baca dalam kitab Ayub adalah,
betapa Allah datang kepada Ayub untuk menyatakan kemaha-kuasaan-Nya! Ia
tak pernah satu kalipun sekalipun minta maaf kepada Ayub atas
ketidak-mampuan-Nya. Elie Wiesel pun berpendapat sama. Bila benar Allah
adalah seperti yang ditulis oleh Rabi Kushner, katanya, Ia pantas untuk
mundur, dan memberi kesempatan kepada yang lebih mampu untuk
menggantikan-Nya.
* * *
SETELAH ini jelas, sekarang kita dapat kembali kepada pertanyaan utama
kita: bagaimana seharusnya kita menyikapi kesakitan dan penderitaan
kita? Bagaimana seharusnya kita memandangnya, memahaminya,
menafsirkannya, dan kemudian menyikapinya?
Menjawab ini, kita hanya harus kembali kepada jalan pemikiran Yesus
dalam Lukas 13 dan Yohanes 9. Di sini Yesus juga tidak ingin kita
menghabiskan enersi serta mengarahkan konsentrasi kita kepada persoalan
yang bersifat spekulatif, yang tidak mempunyai makna bagi kehidupan
sehari-hari. Yaitu pertanyaan "mengapa?".
Kepada Ayub, secara implisit Allah ingin mengatakan, bahwa kalaupun Ia
menjawabnya, Ayub toh tak akan mengerti juga. Seperti menjelaskan
persoalan matematika tinggi kepada jebolan kelas 2 SD. Percuma!
Yang relevan bukanlah "mengapa"nya, melainkan "bagaimana merespon"nya.
Apakah kita biarkan penderitaan itu mematahkan semangat kita dan
memadamkan seluruh vitalitas hidup kita? Atau, walau amat terbatas dan
lemah, kita masih dapat menjadikan hidup kita tetap bermakna? Saya
selalu terharu melihat seorang bocah kecil yang walau tak dapat lagi
menggunakan tangannya untuk melukis, ia tidak menyerah. Ia memakai
mulutnya.
|