SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

BUKAN ASAL TAMPIL BEDA

Orang yang teguh bagai batu karang atau tegar laksana burung elang, pasti lebih mengundang rasa hormat dan decak kagum, ketimbang sabut kelapa yang terus dipontang-pantingkan gelombang, atau bebek yang beraninya cuma menyelinap di tengah kerumunan banyak orang. Karena itu, jayalah para nonkonformis! Dan matilah kaum oportunis serta kompromis!

Tapi tidak asal nonkonformis! Sebab yang terhormat bukanlah orang yang pokoknya mengatakan ‘tidak,’ atau yang kebanggaannya asal tampil beda! Tidak. Orang yang cuma bermodal ‘ngeyel’ atau ‘ngotot,’ tidak mengundang decak kagum atau rasa hormat.

Itu sebabnya, Paulus tidak cukup hanya mengatakan, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini" titik. Agaknya ia menyadari benar, betapa nonkonformisme yang keren itu mudah sekali dijadikan kedok sikap pamer diri dan merasa benar sendiri. Menjadi pembalut kepongahan, kemunafikan, serta kegenitan yang memuakkan.

"Tetapi," tulis Paulus lebih lanjut, "berubahlah oleh pembaharuan budimu." Nonkonormisme hanya akan membawa berkat, bila didahului pertobatan. Hanya membangun, bila diletakkan dalam bingkai sikap mental baru. Dengan perkataan lain, hanya bisa mengubah, setelah si nonkonformis sendiri mengalami transformasi diri. Budinya, kata Paulus, harus dibaharui.

Hanya bila ini terjadi, seorang nonkonformis akan berjuang lebih seimbang. Di satu pihak, melawan kejahatan dengan konsisten, sepenuh hati, dan tanpa kompromi. Di lain pihak, melakukannya dalam kasih dan dengan penuh rendah hati. Di satu pihak, tidak terjebak oleh kesabaran pasif yang memberinya dalih untuk tidak berbuat apa-apa. Di lain pihak, tidak sembrono hantam kromo akibat ketidaksabaran yang tanpa perhitungan.

Seorang nonkonformis yang telah mengalami transformasi diri, menyadari betapa perjuangan melawan kejahatan adalah peperangan tanpa ujung, yang menuntut kesabaran dan keuletan yang nyaris tanpa batas. Sekaligus, suatu rangkaian pertempuran tanpa henti dari tempat ke tempat, yang menuntut seluruh energi dan konsentrasi dari saat ke saat.

* * *

Betapa dunia membutuhkan non-konformis tipe itu! Non-konformis sejati, yang tetap runduk karena berisi. Yang berani berbeda, tidak sekadar petantang-petenteng sarat dengan snobisme serta nafsu pamer diri. Yang tak mengenal rasa jeri, tapi bukan cuma karena ingin disebut pemberani.

Kita amat membutuhkan pejuang-pejuang seperti itu karena, betapa rentannya masa depan umat manusia. Kita membutuhkan orang-orang yang bermental baja dan berhati kaca, untuk memperlambat proses pembusukannya. Sebab sadarkah Anda betapa planet kita bisa luluh lantak dalam sekejap, lumer bagaikan lemak terpanggang bara, oleh misalnya satu saja ledakan nuklir? Dan bahwa umat manusia bisa lenyap musnah dalam sesaat, akibat senjata kimia dalam suatu perang biologi, seperti kuman antraks misalnya?

Rentannya kehidupan ini oleh banyak pakar disimpulkan, sebagai dampak samping teknologi ciptaan manusia yang lepas kendali. Yang sebabnya tak mampu diprediksi, dan yang akibatnya tak sanggup diatasi.

Karenanya racun paling berbisa bagi masa depan umat manusia, sebenarnya terletak pada diri manusia sendiri. Pada kecenderungan hatinya: kesombongannya, kepalsuannya, kedengkiannya, serta pementingan diri sendiri. Dari waktu ke waktu kita menyaksikan, bagaimana kebenaran dipasung oleh kebohongan dan kemunafikan. Bagaimana manusia menyembah ilah-ilah palsu, yang kini tak lagi bernama Baal atau berbentuk anak lembu mas, tapi bernama etno-nasionalisme, etno-religionisme, materialisme, hedonisme serta egosentrisme.

Isme-isme yang saya sebutkan itu, wah, daya pikatnya luar biasa. Tapi sekaligus, daya hancurnya juga amat mengerikan. Untuk melawannya, tidak cuma dibutuhkan seorang pemberani, tapi orang yang telah "dibaharui budinya." Maksud saya, orang yang tak lagi terpilin oleh pusaran roh-roh zaman yang saya sebutkan di atas. Anggur baru, kata Yesus, membutuhkan kerbat baru.

Itulah sebabnya mengapa cita-cita reformasi kian lirih saja suaranya dan luruh kekuatannya, sebab pejabat dan penyelenggara negeri yang mestinya mereformasi, ternyata masih perlu direformasi. Mereka adalah kerbat-kerbat lama. Mereka adalah stok lama dengan bungkus baru. Sebenarnya sudah tak layak pakai, dan seharusnya sudah dibuang sejak dulu-dulu. Mengikuti petuah Yesus: lebih baik masuk surga dengan satu mata, ketimbang tubuh utuh tapi masuk neraka.

* * *

Yakinlah, bahwa keselamatan dunia serta kelangsungan masa depan umat manusia, termasuk di dalamnya nasib bangsa kita, tidak akan terwujud melalui pintu penyesuaian diri kepada kecenderungan mayoritas. Tapi melalui lorong-lorong sempit, lorong-lorong perlawanan kaum minoritas non-konformis. Ini hendaknya kita ingat benar. Khususnya oleh mereka yang mengidentikkan kearifan dengan mengikuti kemauan mereka yang lebih banyak atau yang lebih kuat.

Dalam batas-batas tertentu, menyesuaikan diri tentu perlu. Tapi Anda mesti menetapkan rambu batas yang tegas dan jelas, di mana dan kapan harus mengatakan ‘tidak’. Seperti Sadrakh, Mesakh dan Abednego yang menolak berlutut di depan patung raja. "Jika Allah kami yang kami puja (berkenan) melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami -- tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan -- menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu."

Seperti Thomas Jefferson, yang walaupun hidup di tengah zaman yang membenarkan perbudakan, menyatakan: "Kami memegangi ini sebagai kebenaran yang tak perlu dibuktikan lagi, yaitu bahwa semua orang diciptakan setara, dan bahwa semua orang dikaruniai oleh Sang Khalik hak-hak yang tak dapat tanggal, antara lain hak untuk hidup, hak untuk bebas, dan hak untuk mengejar kebahagiaan." Tidak dapat tidak. Sebab, seperti kata Abraham Lincoln, tak ada satu bangsa pun di muka bumi ini mampu bertahan, setengah budak dan setengah merdeka.

Saya tidak dapat menutup-nutupi kenyataan, bahwa sikap seperti itu mengandung konsekuensi. Seorang non-konformis sejati, tidak mustahil mesti berjalan dalam bayang-bayang penderitaan, berisiko kehilangan pekerjaan atau kedudukan, dan setiap kali mungkin mesti menjawab pertanyaan anak-anaknya yang masih belia, "Mengapa sih Papa begitu sering masuk penjara? Apakah Papa orang jahat?"

Apa boleh buat. Bagi pengabdi kebenaran, betapa acap, salib datang mendahului mahkota. Namun begitu, tak ada alasan untuk mundur. Sebab sisi kebenaran yang lainnya adalah, bahwa hidup seorang nonkonformis sejati -- betapapun pendeknya -- tidaklah menuju senja, melainkan fajar. Bagi mereka, kematian bukan tujuan akhir, cuma sasaran antara. Tak perlu diacuhkan benar.