SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

Bodoh Sekali, Wajar Sekali
Oleh Eka Darmaputera

Tidak ada yang lebih bodoh dan lebih absurd yang dapat dilakukan manusia, dari pada ketika ia memperlakukan "berhala"-benda-benda biasa-sebagai Tuhannya. Sewaktu ia memper"tuhan"kan berhala. Menurut Yeremia, sebuah "berhala" tidaklah lebih dari pada orang-orangan di kebun mentimun (Yeremia 10:3-5).

Maunya sih menakut-nakuti dan mengusir burung-burung pergi. Tapi sama sekali tak berdaya, ketika burung-burung datang, hinggap, bertengger, dan berkicau riang . di "pundak"nya.

Menyembah berhala adalah ibarat mengambil kursus baca-tulis pada orang yang buta huruf. Atau mempercayakan seluruh nyawa dan harta kepada orang yang "stroke" total, yang menggerakkan anggota tubuhnya sendiri pun ia tak mampu. Bodoh sekali. Absurd sekali.

Ya! Kendati begitu, toh ada sisi kenyataan yang lain yang harus kita katakan. Bahwa menyembah berhala itu-meski bodoh -- ternyata juga merupakan kecenderungan insani yang mudah dimaklumi. Tidak ada tindakan yang lebih lumrah yang dapat dilakukan oleh manusia, daripada ketika ia berusaha menggambarkan atau mem"visual"kan Tuhan dalam bentuk "berhala"-dari benda-benda biasa. Bodoh sekali, ya, tapi juga wajar sekali.

Sama wajarnya dengan ketika Michelangelo menuangkan imajinasinya tentang suasana sorgawi dalam karya-karya lukisannya. Sama normalnya dengan tatkala Leonardo da Vinci melukis Monalisa-si gadis dengan sebaris senyumnya yang misterius itu. Dan jangan lupa, kita pun sering melakukan hal yang serupa. Ayo jujurlah, tidak pernahkah Anda membayang-bayangkan wajah Yesus, bahkan sosok Bapa di sorga, sewaktu bermeditasi atau berkontemplasi?

* * *

SAYA katakan kecenderungan tersebut wajar, sebab begini. Boleh saja orang senang membaca buku-buku atau menonton filem-filem misteri. Tayangan-tayangan seperti ini, baik di saluran televisi dalam negeri maupun luar negeri, malah sedang naik daun sekarang ini.

Namun demikian, dalam kenyataan, sebenarnya amat sedikit orang yang bisa tahan hidup dengan misteri semata. Manusia menghendaki kepastian, sebab kepastian inilah yang akan memberinya rasa aman. Sedang misteri? Misteri cuma memberinya ketidak-pastian. Rasa tidak aman.

Manusia umumnya juga tidak merasa nyaman hidup dengan yang abstrak-abstrak. Baru ketika orang mencapai tingkat intelektualitas dan kematangan tertentu, ia bisa menikmati hal-hal yang abstrak: konsep-konsep yang abstrak, rumus-rumus yang abstrak, lukisan-lukisan abstrak.

Waktu masih di tingkat pra-sekolah, seorang anak balita belajar menghitung "satu jeruk tambah dua jeruk". Baru dalam tahap yang lebih lanjut, pelajaran berhitungnya "meningkat" jadi lebih abstrak. Ia belajar simbol-simbol: "1 + 2". Semakin lanjut, abstraksinya juga semakin hebat. Di sini orang bicara tentang "akar 4" atau "pangkat 3" atau logaritma atau sinus atau kosinus; dan sebagainya.

Ini menunjukkan, betapa konsep-konsep abstrak itu hanya bisa jadi konsumsi amat sedikit orang; terbatas bagi minoritas elit. Sedang mayoritas manusia pada umumnya? "Ah, buat saya yang kongkret-kongkret sajalah". Yang kongkret, artinya: yang kasat mata, yang tidak kedap rasa, yang transparan. Semua kartu terbuka di atas meja. Jangan "membeli kucing di dalam karung". Nah, sekarang kita tahu, bukan, mengapa bagi banyak orang, agitasi jauh lebih memikat ketimbang puisi? Yang satu "kongkret", yang lain "abstrak".

* * *

SEMUA selubung sedapat mungkin harus disingkap, dan semua yang "remang-remang" sebaiknya dibuat terang. Untuk setiap pertanyaan harus ada jawaban-betapa pun "ngawur"nya jawaban itu. Bagi kebanyakan orang, lebih baik "ngawur" tapi ada, ketimbang tidak ada jawaban sama sekali.

Tatkala orang tidak tahu apa "rahasia" di balik gejala guntur atau hujan, ia tidak puas dengan sekadar jawaban "saya tidak tahu". Untuk segala sesuatu mesti ada penjelasan, apa pun penjelasan itu. Maka orang pun mengatakan, guntur atau hujan itu "dewa". Ngawur memang, tapi puas.

Dalam kaitan ini, semua orang tahu bahwa Tuhan adalah roh. Suatu "kuasa" atau "kekuatan" yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Tapi puaskah orang dengan penjelasan, "Tuhan hadir dan ada bersama-sama kita, tapi secara roh. Karena itu, tidak kelihatan"? Penjelasan itu benar, tapi tidak memuaskan.

Orang baru merasa puas, pasti, dan aman, ketika yang abstrak menjadi kongkret. Sebab itu amatilah, betapa bersemangatnya dan menggebu-gebunya orang ketika bercerita, bahwa Tuhan telah menampakan diri serta mengunjunginya-secara ragawi! Melihat Tuhan yang abstrak secara kongkret, bagi banyak orang, adalah pengalaman rohani yang paling tinggi dan paling mengesankan. (Mereka lupa, bahwa justru yang sebaliknyalah yang benar : bahwa semakin tinggi tingkat spiritualitas seseorang-sama seperti pada intelektualitas-akan semakin mampulah ia menikmati kehadiran Allah yang rohani).

Memang harus diakui, bahwa sungguh tidak mudah memahami, menghayati, serta menjalin relasi, dengan sesuatu yang tidak kelihatan dan yang tidak terjelaskan-seperti Allah. Sesuatu yang tidak bisa dilihat, adalah sesuatu yang tidak dikenal; asing. Nah, bagaimana mungkin menjalin hubungan yang akrab dengan sesuatu yang asing?!

Ini mengingatkan saya kepada sinisme teolog "Allah Yang Mati" (= The "God is Dead" Theology"), yang sempat populer di sekitar tahun 70an. Begini kira-kira pertanyaan mereka kepada para penentang mereka, "Anda berkata, bahwa Anda percaya kepada Allah. Itu sah-sah saja. Tapi kemudian Anda mengatakan, bahwa Allah yang Anda percayai itu, tidak dapat dilihat, tidak dapat didengar, dan tidak dapat diraba. Pokoknya tidak terjangkau oleh indera dan akal manusia.

Anda juga tak pernah melihatnya sendiri. Melainkan mempercayai-Nya, semata-mata berdasarkan apa yang dikatakan orang lain, melalui sebuah buku tua yang bernama Alkitab. Nah, apa bedanya itu dengan mengatakan bahwa "Allah itu tidak ada"?"

Ternyata teolog-teolog "hebat" sekaliber mereka pun, masih menggantungkan argumentasi mereka mengenai "ada-tidak"nya Allah, pada "bisa atau tidak bisa dilihat"nya yang disebut "Allah" itu! Dapat kita bayangkan, betapa lagi orang-orang Kristen yang "biasa-biasa" saja!

* * *

ITU sebabnya, pemimpin-pemimpin agama yang bijak akan berusaha menolong umatnya, supaya mereka lebih mudah meng"akses" serta menjalin komunikasi dengan Allah mereka. Bagaimana caranya? Sangat sederhana. Dibuatlah sesuatu yang nyata, yang kelihatan, yang terasa, dan yang teraba, sebagai alat untuk memudahkan orang mengingat dan mendekat kepada Allah mereka. Yang abstrak dibuat kongkret.

Prinsip ini juga dilakukan oleh teman saya seasrama dulu. Ia menggelar baju kekasihnya di atas bantal tempat ia meletakkan kepalanya setiap malam. Supaya apa? Supaya ia senantiasa merasa dekat dengan sang kekasih-baik siang maupun malam. Saya yakin, sudah pastilah teman saya itu tidak bodoh dan tidak gila, sehingga bermesraan dengan baju! Baju itu hanya sekadar alat.

Jadi bisa saja, pada awalnya yang namanya "berhala" itu dibuat dengan maksud mulia. Yaitu, supaya dengan menatapnya, pikiran orang lebih mudah tertuju kepada Allah. Tidak jahat, bukan?

Tapi persoalan kita tidak di situ. Persoalan kita adalah, betapa mudahnya sedikit demi sedikit dan tanpa disadari, benda-benda biasa itu tidak lagi menunjuk kepada Allah, melainkan menggantikan tempat dan fungsi Allah. Ia diper"ilah". Ia menjadi "berhala".

Saya mengatakan bahwa penyembahan berhala atau idolatri adalah sesuatu yang insani.

Artinya, manusia memang mempunyai kecenderungan naluriah seperti itu. Pada awalnya, uang atau kerja atau karir adalah alat. Eee lama-lama, tanpa terasa, ia bergeser menjadi tujuan. Orang hanya bekerja dan bekerja, menumpuk harta demi harta, mengejar pangkat demi pangkat, tanpa tahu lagi untuk apa semua itu. Yang semula alat, kini menjadi tujuan.

Atau orang yang pada awalnya terpaksa korupsi kecil-kecilan, guna menutup kebutuhan hidupnya sekeluarga dari hari ke hari. Tapi, eee, lambat laun jadi keasyikan, dan korupsi pun berubah fungsi menjadi gaya hidup. Begitulah kecenderungan naluriah manusia. Gampang sekali melenceng dari tujuan.

Sebab itu, bila diibaratkan dengan sebatang pohon, maka sebelum keburu bertumbuh jadi pohon yang besar, berakar kuat, serta merusak, Tuhan -- yang mengetahui sedalam-dalamnya seluk-beluk kecenderungan insaniah kita-menitahkan, agar kita segera memotongnya sementara masih tunas. "JANGAN MEMBUAT BAGIMU PATUNG YANG MENYERUPAI APA PUN YANG ADA DI LANGIT DI ATAS, ATAU YANG ADA DI BUMI DI BAWAH, ATAU YANG ADA DI DALAM AIR DI BAWAH BUMI ." (Keluaran 20:4-5). Mencegah lebih baik dari pada mengobati.

Jadi, betapa relevannya titah kedua ini dengan naluri-naluri kemanusiaan kita. Dan juga, betapa relevannya ia di tengah praktik-praktik kehidupan manusia di zaman moderen ini. Tapi ini adalah porsi untuk minggu depan. Sampai baku dapa!