SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIAmelayani jemaat dan hamba Tuhan
|
|
|
|
Bersyukurlah dalam Segala Keadaan Oleh: Eka Darmaputera Judul tulisan ini bagi telinga orang Kristen amat biasa, tapi sebenarnya kalau dipikir-pikir isinya sangat tidak lazim. Sebab, ayo kita jujur, apa yang paling mudah, paling logis, dan paling manusiawi, - dan oleh karena itu juga paling cepat serta paling spontan - meluncur dari mulut kita dan tergambar dalam sikap kita, ketika kenyataan yang ada berbeda jauh dari harapan kita; dan ketika hidup tidak berjalan sesuai dengan keinginan kita - seperti keadaan kita sekarang ini? Masa iya, bersyukur? Kena PHK, "O terima kasih, Tuhan!'' Rumah atau sanak keluarga hancur kena bom, "Waduh, matur nuwun, Gusti!''. Indonesia carut-marut dan compang-camping. "O, haleluya! Puji Tuhan!''. Apa begitu, saudara-saudara? Menurut semua orang, reaksi atau respons yang jauh lebih masuk akal, adalah keluhan, gerutu, kritik, protes, umpat, cerca, caci, ... atau, shock, panik, histeris ... atau jengkel, marah, geram. Tapi yang namanya "bersyukur'', saya jamin, pasti tidak masuk daftar. Respons seperti itu, bukan, yang kita baca di koran; yang kita dengar di seminar-seminar; yang kita tonton di layar kaca? Roh yang ada di balik komentar para pengamat maupun pejabat, bila ditanya pendapat mereka mengenai keadaan masyarakat kita. Daftar Keluhan Apa itu? Tidak bersyukur. Melainkan, daftar keluhan yang panjang, daftar persoalan yang panjang, dan, yang pasti tidak ketinggalan, adalah: daftar dosa yang panjang - dosa orang-orang lain. Cuma itu. "Ini semestinya begini,'' atau "Itu semestinya begitu''. Tapi kalau ditanya bagaimana caranya, ... diam. Seolah berkata, tanya saja pada "rumput yang bergoyang''. "And the answer, my friend, is blowing in the wind. The answer is blowing the wind''. Situasi yang persis sama juga terjadi di sidang-sidang resmi, atau pun di pertemuan-pertemuan tidak resmi, dari orang-orang Kristen. Waduh, pintarnya dan fasihnya, bila sedang menganalisis keadaan, khususnya bila diminta menyebutkan borok-borok orang lain, pihak lain dan di tempat lain. Lancarnya dan cepatnya, kalau diminta memberi laporan tentang persoalan, kesulitan, tekanan dan tantangan yang sedang dihadapi. 1001 macam! Tapi, sekali lagi, ya tidak lebih dari sekadar daftar keluhan yang panjang, daftar kesalahan yang panjang, dan daftar persoalan yang panjang. Tanpa solusi, tanpa konklusi: harus apa, bisa apa, dan lalu bagaimana. Salahkah yang terjadi itu? Dari satu sisi, bila yang kita pertimbangkan adalah betapa buruknya keadaan, maka kalau orang sampai begitu mengeluh, mengumpat, mengamuk, ya kita maklumilah. Kita sudah sampai pada tahap, di mana orang tidak takut terhadap apa pun, dan tidak takut melakukan apa pun. Tuhan, hukum, aturan, hati nurani. Label "halal'' dan "haram'' cuma wajib untuk "mi instan'' atau bumbu masak - bukan untuk tindakan. Jadi logis kalau orang Indonesia jadi uring-uringan. Masuk akal kalau yang berperan paling dominan dalam hati manusia sekarang ini adalah roh keluh kesah, roh caci maki, roh putus asa, roh "pokoknya saya selamat, orang lain peduli amat''. Logis, tapi juga sangat berbahaya! Karena bila roh inilah yang membelenggu kita, kita hanya akan bisa melihat ke permukaan, tidak ke kedalaman. Hanya bisa berkeluh-kesah, tanpa berkiprah. Kita hanya akan tercengang oleh realitas sekarang, tidak melihat kemungkinan-kemungkinan lain di masa depan. Kita hanya sibuk mengutuk kesalahan dan dosa-dosa orang lain, tidak bertanya: apa tanggung jawabku? Dalam perkembangan kejiwaan, ini namanya embisil. Tidak secara individual, tapi secara sosial. Kenyataan Buruk Yohanes 12:20-28 berceritera tentang Yesus yang sedang menghadapi kenyataan yang paling buruk di dalam hidup-Nya. Paling buruk secara fisik, tapi juga secara mental. Tidak ada yang bisa lebih buruk lagi daripada ini. "Telah Tiba Saatnya Anak Manusia Dimuliakan''. Artinya, Yesus tahu, ajal-Nya sudah tiba. Ini saja, sudah cukup buruk dan cukup berat. "Umur Bapak tinggal 2 minggu, paling lama 1 bulan! Jadi, siap-siaplah!'' Toh dalam kasus Yesus, itu belum cukup buruk. Ia tidak hanya akan mati, tapi mati dengan cara yang paling hina, paling tidak adil, dan sangat menyakitkan. Dan Anda tahu apa yang sebenarnya paling menyakitkan? Yaitu, bahwa sebenarnya Ia tidak sepantasnya mengalami semua itu. He did not deserve itu. Dari sudut manusia, Dia dijadikan "kambing hitam''. Dari sudut Allah, Dia dijadikan "tumbal''. Anda bisa merasakan sakitnya diperlakukan seperti itu? Tapi bagaimana Ia menghadapinya? Ini, saudara-saudaraku, yang sangat menarik. Yang pertama, sama persis seperti kita semua. Ia berkata, "Sekarang Jiwa-Ku Terharu'' (ayat 27). Yesus, Tuhan kita, saudara-saudaraku, sangat berduka. Yesus, Tuhan kita, amat terluka. Yang akan Ia alami itu terlalu sakit, dan terlalu berat. "Sekarang jiwa-Ku terharu''. Namun demikian, dan ini yang amat berbeda, Ia tidak memilih untuk bersikap yang paling logis dan paling manusiawi. Ia tidak menggerutu. Ia tidak mencaci. Ia tidak mengeluh. Ia tidak protes. "Sekarang Jiwaku Terharu, dan Apakah yang Akan Kukatakan? Bapa, Selamatkanlah Aku dari Saat Ini?'' Apa itu? O, kalau saya, jelas sekali. Ya memang "itu''! "Selamatkanlah aku dari saat ini!'' Tolonglah aku! Nyatakan mukjizat-Mu! Kalau boleh, Tuhan, jangan sekarang! 10 atau 15 tahun saja lagi! Menurut saya, doa atau reaksi seperti ini wajar-wajar saja. Tidak salah, juga tidak benar. Tapi Yesus memberi contoh bagaimana kita, sebagai orang Kristen, harus bisa "lebih'' atau melampaui yang "wajar-wajar'' saja itu. Dia akan bertanya, "Eka, kalau cuma sebegitu - ya lalu apa lebihnya kamu daripada orang lain?'' Terus terang, Saudara-saudara, tidak ada perkataan Yesus yang lain yang se-''menusuk'' seperti pertanyaan tersebut. Maksud saya, sekarang ini, untuk orang Kristen, mengejar agar tidak terlalu ketinggalan dibandingkan dengan yang lain-lain saja, sudah sangat terengah-engah. Bahasa Jawanya, sangat kepontal-pontal. Menjadi Berkat Menangis hati saya membayangkan sekolah-sekolah Kristen kita, rumah-rumah sakit Kristen kita, jemaat-jemaat kita, SDM kita - khususnya di daerah-daerah, lebih khusus lagi di daerah-daerah yang pernah disebut sebagai "daerah-daerah Kristen''. Apakah PGI masih memikirkan ini? Ini, saudara-saudara, baru untuk mengejar ketinggalan. Belum bila kita harus menjawab pertanyaan Yesus tadi: "Di mana lebihnya kamu?'' "Sekarang jiwa-Ku terharu, dan apakah yang akan Ku katakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini?'' Apa yang Yesus katakan, menjawab pertanyaan-Nya sendiri? "Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam Saat Ini. Bapa, Muliakanlah Nama-Mu!'' (27-28). "Tidak! Sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini''. Bagi Yesus, hidup itu bukan sekadar eksis. Seperti laron, yang malam ini ada dan besok tiada. Survival, penting, tapi bukan segala-galanya. Apa yang segala-galanya? Hidup menjadi berkat, dan mati dengan bermartabat. Karena itu, panjang umur tidak pernah menjadi persoalan bagi Yesus. Apakah Ia hidup sampai 90 tahun, atau apakah Ia mati dalam usia 33 tahun, yang penting: Ia tahu "Untuk apa Ia datang ke dalam dunia ini, saat ini'' Istilah kerennya, Ia tahu persis apa yang menjadi "Visi'' dan "Misi''-Nya. Dan Ia memegangi, menghayati, dan menjalani visi dan misi-Nya itu dengan konsisten dan konsekuen. "Sekarang jiwa-Ku terharu!'' - tapi Ia tidak membiarkan kegundahan hati-Nya mengaburkan, apa lagi menguburkan, visi dan misi-Nya. Ia melihat ada begitu banyak kepincangan, ketidakadilan, kekejian, di sepanjang perjalanan hidup-Nya - tapi Ia tidak membiarkan perhatian dan konsentrasi-Nya terbelokkan dan terbengkokkan oleh hal-hal yang relatif periferal, yang bisa membuat Ia tidak akan pernah sampai ke tujuan yang sebenarnya! Dan apa visi-Nya itu? ayat 28 mengatakan, "Bapa, muliakanlah nama-Mu''. Bukan sebuah mission statement yang luar biasa, memang. Hampir semua orang Kristen tanpa canggung bisa mengucapkan, Soli Deo Gloria. Atau: kemuliaan hanya ada pada Allah dan bagi Allah! Toh ketika ini Yesus yang mengucapkannya, ia menjadi sangat istimewa dan luar biasa! Yohanes menulis, sampai sorga pun menganga; Tuhan pun menyambut; dan "orang banyak yang berdiri di situ dan mendengarkannya berkata, bahwa itu bunyi guntur'' (29). Mengapa, saudara-saudara, yang tidak istimewa menjadi istimewa ketika Yesus mengucapkannya? Karena Ia tidak cuma mengucapkannya! "Bapa, muliakanlah nama-Mu!'' Untuk itu, dan cuma untuk itu, Yesus hidup. Dan untuk itu pula, Ia bersedia mati. Kita diberkati dengan banyak hal. Kita diberkati dengan firman Tuhan, yang mengingatkan kepada kita banyak hal. Khususnya mengenai bagaimana seharusnya hidup sebagai orang percaya di tengah-tengah masa yang sulit dan buruk ini. Seharusnya, lebih dari sekadar menggerutu. Kita juga diingatkan bahwa diberkati dengan anak-anak Tuhan yang bisa kita jadikan contoh dan sumber inspirasi - khususnya seorang Yonathan Parapak. Kita bersyukur karena sebagian besar dari 60 tahun hidupnya, dapat ia mempersembahkannya menjadi kemuliaan Bapa dan manfaat bagi sesama. Prinsip hidupnya juga adalah: "jangan cuma mengutuki kegelapan, tapi nyalakan lilin''. Dan akhirnya, malam ini kita juga diberkati dengan suatu kesempatan untuk melakukan sesuatu, untuk memberikan sesuatu, untuk mengekspresikan syukur kita kepada Tuhan di dalam segala hal. Kesempatan untuk menjadi berkat. Tidak semua bisa menjadi seperti Yonathan Parapak. Tidak semua bisa melakukan hal-hal yang spektakuler dan mengagumkan. Tapi semua kita, dan itu Anda harus yakini sepenuh hati, setiap kita bisa berbuat sesuatu. Lebih dari sekadar mengeluh. Dalam Nama Yesus, lakukan apa yang Anda bisa lakukan! Muliakan Tuhan dengan itu! Amin. *) Refleksi ini disampaikan Eka Darmaputera pada Malam Budaya, Nada dan Refleksi, yang dikaitkan peluncuran tiga buku Jonathan Parapak di Jakarta, 13 Juli. |