SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

Beriman Bukan Hanya Beragama
Oleh Eka Darmaputera

"GEMBALAKANLAH kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela . Dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian. Jangan kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah.tetapi (jadilah) teladan".

Bila Anda cukup akrab dengan Alkitab, Anda pasti segera tahu, dari mana kalimat-kalimat di atas itu saya ambil. Ya, benar sekali! Dari 1 Petrus 5:2-3.

Mengapa saya mengutipnya? Apakah karena isinya yang bagus? Tentu! Namun demikian, toh bukan itu alasan utama saya. Sebab bila berbicara mengenai isi, kutipan di atas -- walaupun indah -- sebenarnya tidak istimewa benar. Orang-orang seperti Stephen Covey, George Barna, Leighton Ford, Oswald Sanders, A.B. Susanto, dan Jansen Sinamo, juga dapat mengatakannya. Malah amat boleh jadi, dapat mengatakannya dengan lebih menarik dan lebih terartikulasi.

Jadi, mengapa saya mengutip Petrus, dan tidak Stephen Covey? Jawabnya: karena kalimat-kalimat tersebut, saya tahu, tidak lahir begitu saja. Tidak "as-bun".

Kata-kata bersahaja itu, bukanlah produk olah-otak yang cemerlang, atau hasil pengamatan yang mendalam, atau diilhami oleh impian semalam. Tidak!

Tapi lahir melalui proses persalinan yang menyakitkan, melalui pengalaman yang sungguh tidak gampang. Pengalaman yang dramatis. Dramatis karena, pada satu pihak, pengalaman tersebut boleh dikatakan sangat memalukan dan menyedihkan. Namun sekaligus, puji Tuhan, berakhir melegakan dan membahagiakan.

Itu sebabnya, bukan "apa" yang dikatakan oleh kalimat-kalimat tersebut, yang membuatnya istimewa. Melainkan "siapa" yang mengatakannya. Siapa? Petrus!

KITA tentu ingat isi percakapan antara Yesus dan Petrus di tepi danau Galilea, setelah Yesus bangkit dari kematian. Tiga kali Yesus bertanya, "Apakah engkau mengasihi Aku?". Tiga kali Petrus menjawab, "Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau". Dan kemudian tiga kali Yesus bertitah, "Gembalakanlah domba-domba-Ku". (Yohanes 21:15-19).

Tiga kali pertanyaan, tiga kali penegasan, dan kemudian tiga kali penugasan ini, sudah pasti punya hubungan erat dengan tiga kali penyangkalan Petrus, yang kisahnya pasti juga telah amat kita kenal (Yohanes 18:15-27). Ditinjau dari kaitan itu, kita dapat mengatakan, bahwa seluruh percakapan tersebut bersifat "rehabliltatif" dan sekaligus "imperatif".

"Rehabilitatif", karena dengan penegasan itu, terhapuslah sebuah bercak noda yang amat kelam dari masa silam.

Dan "imperatif", karena dengan penugasan itu, terbukalah pintu kemungkinan serta jelaslah jalan di hadapan.

Itulah yang selalu terjadi, pada setiap perjumpaan yang otentik dan pribadi dengan Yesus. Ia menutup masa lalu yang kelam, merehabilitasinya dan mengampuninya, sehingga tidak mengejar dan tidak menghantui lagi.

Sekaligus, ia menguak lebar-lebar kemungkinan-kemungkinan baru, yang nyaris tanpa batas, untuk dijelajahi di masa depan.. Selamat tinggal masa lalu! Selamat datang kesempatan baru!

KISAH ini, pertama, hendak menegaskan, bahwa pemimpin yang layak ternyata bukan harus pemimpin yang bersih tanpa cacat. "Track record" seseorang memang penting untuk diperhatikan. Ini tidak saya sangkal. Namun begitu, jangan ia kita jadikan satu-satunya pertimbangan.

Dari sudut pandang iman kristiani, ungkapan "sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya", sesungguhnya tidak berlaku. Mengapa? Sebab kita harus selalu membuka pintu bagi "rehabilitasi" dan "rekonsiliasi". Kita harus selalu membuka tangan dan membuka hati bagi mereka yang berdosa, tapi bersedia kembali.

Dengan demikian, persoalan kita dengan "politisi-politisi busuk" serta "pemimpin-pemimpin gadungan" yang banyak bertebaran sekarang ini, bukanlah terutama karena panjangnya daftar kejahatan mereka. Itu memang ada, dan luka-luka yang diakibatkannya juga masih sangat terasa pedihnya, sampai sekarang.

Namun demikian, bukan di situ letak soal yang sebenarnya. Sebab bila persoalannya adalah besarnya dan banyaknya kejahatan seseorang, o, Tuhan selalu bersedia me"negosiasi"kannya. Dan bila Ia bersedia, seyogianya kita juga.

" Marilah, baiklah kita beperkara -- firman Tuhan-- Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, (ia) akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, (ia) akan menjadi putih seperti bulu domba. Jika kamu menurut dan mau mendengar ." (Yesaya 1:18-19).

PINTU pengampunan, benar, selalu terbuka. Tidak ada dosa atau kejahatan sebesar apa pun, dan macam apa pun, yang secara a priori dinyatakan "Dilarang Masuk". Hanya saja, jangan lalu bersikap menggampangkan! Sebab ada dua persyaratan tertentu yang mesti dipenuhi terlebih dahulu.

Persyaratan pertama adalah, kata Tuhan, "Marilah kita beperkara". Artinya, bereskan dulu masa lampau! Apakah kalian sadari kejahatan yang telah kalian perbuat? Kerugian-kerugian yang kalian timbulkan? Kerusakan-kerusakan yang kalian akibatkan? Kalian sadarikah itu -- sesadar-sadarnya?

Tapi jangan sekadar sadar! Apakah kalian juga bersedia menunjukkan kesadaran kalian itu dengan mengakui, bahwa yang kalian lakukan itu memang adalah kejahatan? Ini perlu jelas, sebab yang sering dilakukan orang adalah, ke dalam sih sadar. Tapi ke luar? Waduh, lagaknya seolah-olah masih serba bersih dan suci, bak bayi sepuluh hari! Menyebalkan!

Karena itu, dalam kaitan ini, persyaratan kedua untuk memasuki pintu pengampunan adalah, sabda Tuhan, "Jika kamu menurut dan mau mendengar". Artinya, bukan cuma harus ada "penyesalan", tapi mesti pula ada "pertobatan".

Apa beda antara keduanya? "Penyesalan", kita tahu, terutama menyangkut kejahatan kita di masa silam. Ia menoleh ke belakang. Sedang "pertobatan"? Ia menyangkut tekad dan tindak kita untuk menjadi lebih baik, sedari sekarang. Ia menatap ke depan.

Keduanya, adalah kesatuan yang tak terpisahkan. Penyesalan yang sungguh tidak cukup sekadar dinyatakan melalui cucuran air mata meratapi yang telah lalu. Melainkan harus dibuktikan melalui sikap, ucap, dan tindak yang berbeda, yang lebih baik, yang baru.

INTI persoalan kita dengan para "politisi busuk" adalah itu. Mereka minta diterima. Menuntut direhabilitasi. Menawarkan rekonsiliasi. Tapi tak sedikit pun ada tanda-tanda penyesalan. Tak secuilpun ada bukti-bukti pertobatan.

Alih-alih kapok dan jera, yang dulu jelas-jelas melakukan kejahatan kemanusiaan, tetap ngotot mencuci dan membela diri. Yang dulu tanpa malu-malu merampok milik rakyat, terus mengekapi hasil rampokannya sampai kini. Dan yang dulu, karena kesalahan sendiri, telah terjungkal dari kekuasaan, tidak jera berupaya dengan segala jalan membeli kembali kejayaan mereka yang hilang.

Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin "rekonsiliasi" dan "rehabilitasi"? Sebab dalam kondisi seperti ini, "rehabilitasi" hanya berarti membiarkan kejahatan terjadi tanpa tindakan keadilan. Dan "rekonsiliasi" cuma berarti membuka, bahkan mendorong, kejahatan yang sama terulang kembali kemudian.

BERBEDA dengan Petrus. Dan inilah yang kedua yang ingin saya kemukakan. Petunjuk Petrus kepada para pemimpin umat, agar mereka menggembalakan "kawanan domba Allah dengan sukarela", pasti tidak terlepas dari titah Yesus di tepi danau Galilea, "Gembalakanlah domba-dombaku".

Implikasinya adalah, bahwa kemampuan kita untuk menjadi "gembala" (baca:"pemimpin") yang baik, ternyata amat tergantung pada apakah kita mempunyai "hubungan yang baik" dengan Tuhan. Dan hubungan baik kita dengan Tuhan itu ditentukan oleh, apakah - ke belakang" -- kita telah membereskan semua "perkara" kita dengan Tuhan. Dan - ke depan -- apakah kita sungguh-sungguh "mengasihi" Tuhan.

Lihatlah, betapa Yesus baru bersedia mempercayakan tugas kepemimpinan kepada Petrus, setelah semua tadi jelas. Mengapa? Karena seseorang dapat menjadi "pemimpin yang baik", hanya bila hubungannya dengan Tuhan baik. Begitu hubungan dengan Tuhan buruk, ia serta merta akan menjadi "pemimpin busuk". Simaklah , misalnya, pengalaman raja Saul, Daud, dan Salomo.

Jadi tidak salah, bila di negeri kita istilah "beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa", menjadi salah satu mata persyaratan untuk jadi apa saja - khususnya untuk menjadi "pemimpin". Pertanyaannya adalah, mengapa langka sekali kita berjumpa dengan pemimpin yang baik di republik ini? Jawabnya: karena kita sering melakukan kesalahan yang amat fundamental. Yaitu mengidentikkan istilah "beriman" dengan "beragama". Padahal kedua istilah tersebut, alangkah berbeda!

Banyak pemimpin yang kelihatannya amat taat beragama, bahkan yang bersangkutan adalah tokoh agama. Tapi apakah mereka dengan sendirinya adalah orang-orang "beriman'? Pemimpin-pemimpin yang adil, bijak dan bajik? Belum tentu, bukan? "Agama" sering menampilkan wajah yang garang, pemberang, mengerikan. Padahal "gembala" mestinya "mengayomi". "Mengayemi. "Menyejukkan.