SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

ALLAH BISA!
Oleh: Eka Darmaputera

Pusat iman Kristen adalah kepecayaan bahwa Allah adalah Allah yang Maha Kuasa (= omnipotent), Maha Hadir (= omnipresent ), dan Maha Tahu (= omniscient). Artinya, tidak ada satu pekerjaan pun yang Allah tidak bisa lakukan. Tidak ada satu tempat pun di mana Allah tidak ada di situ. Dan, tidak ada satu rahasia pun yang Allah tidak tahu. Ia adalah Allah yang kompeten. Bukan Allah yang impoten.

Sampai kini, kepercayaan ini--paling sedikit secara formal--tetap sentral. Tidak bisa ditawar-tawar. Namun bila yang formal dapat dikatakan tidak berubah, yang kontekstual, yaitu konteks di mana orang Kristen sekarang hidup, telah mengalami banyak perubahan yang drastis lagi radikal.

Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan daya ragawi manusia beribu kali ganda. Teleskop dan televisi telah meningkatkan daya penglihatannya. Telepon, radio, dan mikrofon telah melipatgandakan daya bicara maupun pendengarannya. Mobil dan pesawat terbang telah memperpanjang daya jangkau langkah kakinya. Obat-obatan penemuan baru telah memperpanjang usia harapan hidupnya. Dan seterusnya.

Adalah wajar semata, bila pencapaian-pencapaian yang mengagumkan ini sedikit demi sedikit menggerus keyakinan sentral bahwa Allah adalah Allah yang Maha Bisa. "Bukan Allah (saja) yang maha bisa, tapi manusia!" begitu ia sesumbar. Perlahan tapi pasti, teosentrisme bergeser menjadi antroposentrisme.

Namun belum terlalu lama manusia menikmati kenyamanan berada di tahta tertinggi dan di titik-api seluruh semesta itu, banyak hal terjadi yang telah mengguncangkan dan merontokkan kepongahannya. Penemuan-penemuan teknologi yang baru saja dipuja-puja sebagai tumpuan harapan seluruh masa depan umat manusia ternyata mengandung potensi merusak dan membinasakan yang luar biasa pula.

Celakanya, bagaikan pusaran pasir yang tak tertahankan--dengan perlahan tapi pasti--kekuatan perusak itu sedang menyeret seluruh umat manusia menuju kemusnahan total. Dengan terkejut manusia menyadari, betapa ia tidak mampu menyelamatkan diri sendiri--apalagi dunia ini.

Toh kesadaran baru ini tidak serta-merta menggiring manusia kembali mengorientasikan diri kepada Allah. Realitas kejahatan yang begitu kolosal dan spektakuler, baik secara kualitatif maupun kuantitatif; kedahsyatan bencana-bencana alam yang dalam sekejap menyapu bersih ribuan nyawa, virus, dan kuman penyakit-penyakit baru maupun lama yang muncul dengan daya resistensi tinggi terhadap obat-obatan yang ada; peperangan antarbangsa dan pertikaian antarkelompok yang telah mencapai tingkat kegilaan yang tak lagi mampu dipahami dengan akal sehat; kesenjangan memilukan antara minoritas kelompok kaya dan mayoritas kaum miskin yang kian tak terjembatani; kekosongan, kesepian serta ketiadaan makna yang menindih perasaan manusia; semua ini--dan yang lain-lain--justru membuat sebagian besar manusia modern kian skeptis terhadap kemahabisaan Allah. Mengapa semua ini sampai terjadi, bila Allah memang ada dan mampu mencegah serta mengatasinya? Apakah kepercayaan bahwa Allah Maha Bisa sebenarnya telah jauh kadaluwarsa?

* * *

Dari awal saya hendak mengatakan, kendala terbesar untuk memperoleh pencerahan dalam menjawab pertanyaan tersebut adalah praduga yang keblinger bahwa Allahlah sutradara di balik semua kejahatan yang menimpa manusia. Padahal semua yang terjadi itu, sebagian terbesar disebabkan oleh karena kebebalan dan keculasan manusia sendiri.

Sungguh tidak adil, menuntut Allah untuk kejahatan yang dilakukan oleh Hitler, Stalin, Idi Amin, atau Osama. Atau menghukum-Nya untuk korupsi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru (maupun oleh rezim yang lebih "baru" lagi). Iblis yang sebenarnya jauh lebih lantas menghadapi tuduhan ini, eee ... malah perkaranya kita deponir dan kita bebaskan ia dari segala tuntutan.

Allah tidak pernah berada di balik, di tengah, ataupun di depan kejahatan. Sebab yang kita sebut sebagai kejahatan, per definisi, adalah segala sesuatu yang melawan dan menentang Allah. Dus, bagaimana mungkin, membayangkan Allah berada di pihak kejahatan--baik aktif maupun pasif?

Tidak ada kebenaran yang lebih benar daripada pernyataan serta kenyataan bahwa Allah selalu berada di balik, di dalam, dan di depan kebaikan. Yang selalu dilakukan oleh Allah adalah mendayagunakan kemahakuasaan-Nya untuk mengubah apa yang semula dirancang sebagai kejahatan agar berakhir menjadi kebaikan. Dan apa yang semula kita caci sebagai kemalangan, bila kita retrospeksi ke belakang, eee ... sering justru merupakan awal dari keberuntungan.

Yang ingin saya katakan adalah betapa pun spektakuler dan kolosalnya realitas kejahatan di sekitar kita; betapa pun pedihnya luka batin kita; betapa pun dalamnya keterpurukan kita; dan betapa pun suramnya cahaya pengharapan dalam hidup kita; semua ini secara objektif belum cukup sahih untuk kita jadikan alasan untuk menyerah, dan tidak mau mempercayakan diri lagi kepada Allah. Sekaranglah saatnya kita memetik pelajaran dari pengalaman--bukan dari kepercayaan yang membabi-buta!--untuk menanggalkan kepercayaan diri yang berlebih-lebihan kepada kemampuan manusia, dan kembali melabuhkan sauh pengharapan kita kepada yang Maha Bisa.

* * *

Marilah kita menyadari kembali betapa kecilnya manusia dan betapa dahsyatnya Allah! Dengan ini saya tidak bermaksud sedikit pun untuk menafikan kemampuan manusia. Namun, kemampuannya itu semestinya justru membuat ia menyadari betapa tidak mampunya ia!

Anda meragukan kemampuan Allah mengendalikan kejahatan yang ada di dunia ini? Astaga, pakailah nalar Anda sebaik-baiknya! Bila pergerakan seluruh alam semesta saja berada di bawah kendali-Nya, betapa lagi yang ada di bumi ini! Ia pasti bermiliar-miliar atau bertriliun-triliun kali lebih mampu! Seorang Ade Ray yang punya kekuatan mengangkat beban ratusan kilo masih Anda ragukan kemampuannya mengangkat beras 10 kilo? Oh, come on!

Kita tahu bahwa secara proporsional, bumi kita ini tak ubahnya bagaikan debu di lingkungan galaksinya sendiri. Begitu pula dengan kemampuan manusia yang kita agul-agulkan itu! Agar kita tidak bagaikan katak yang merasa diri lembu, demi objektivitas kita harus menanggalkan ilusi tentang kehebatan diri sendiri yang berlebih-lebihan.

Banyak yang mengagumkan dari prestasi manusia. Tapi sebelum kita keburu terjerat tanpa sadar oleh arogansi antroposentrisme yang menyesatkan, marilah kita melihat alam semesta yang lebih luas. Kita akan mendapati, betapa semua penemuan dan capaian manusia yang tertinggi, tetap tak ada artinya dibandingkan dengan apa yang telah ditata oleh Allah.

Saya tidak tahu apakah data-data berikut ini masih akurat atau tidak. Tapi, saya pernah membaca tentang bagaimana bumi kita ini mengelilingi matahari dengan kecepatan begitu rupa sehingga bila dilakukan adu balap, dalam satu jam pertama saja pesawat jet manusia yang tercanggih akan sudah ketinggalan 66.000 mil di belakang.

Para ahli juga mengatakan, bagaimana dalam perjalanan mengelilingi matahari itu, bumi ini menempuh jarak 584 juta mil per tahun, dengan kecepatan rata-rata 66. 700 mil per jam atau 1,600. 000 mil per hari. Itu berarti, pada saat yang sama keesokan harinya kita telah berada 1.600.000 mil jauhnya dari tempat di mana kita berada sekarang. Dan toh kita tidak merasakan apa-apa!

Dapatkah Anda bayangkan semua ini? Sungguh fantastis, bukan? Pertanyaan saya: bila Allah mampu mengendalikan semua yang begitu fantastis, masihkah Anda ragukan kemampuan-Nya mengendalikan hidup Anda dan perjalanan arah sejarah dunia ini? Jadi, manakah yang sebenarnya telah kadaluarsa: kepercayaan tentang ke-Maha-Bisa-an Allah, atau ketidakpercayaan manusia?