SUMBER KRISTEN: ARTIKEL TEOLOGIA

melayani jemaat dan hamba Tuhan

 Home Hubungi Kami Pengakuan Iman Kotbah Sermon Mimbar Gereja Artikel ilustrasi Humor ebooks Kursus Teologia Clip Arts Power Point Direktori

www.sumberkristen.com

 

 

 

AGAMA DENGAN AKAL SEHAT

"Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." Anda pasti maklum, bahwa inilah antara lain doa Yesus bagi orang-orang yang dengan semena-mena telah menyalibkan-Nya. Isinya tidak cuma mendemonstrasikan kebajikan yang menakjubkan serta tak tertandingi. Tapi juga membunyikan alarm tanda bahaya--nyaring dan lantang sekali.

Dengan doa itu, Dia mengajak kita membedah diri; melakukan otopsi. Apakah kita tahu apa yang kita perbuat? Apakah bangsa ini menyadari apa yang ia lakukan? Sadar akan apa makna dan dampak; implikasi serta konsekuensi, dari setiap yang dilakukan?

Di sini, menurut Yesus, kita berhadapan muka dengan salah satu masalah kemanusiaan yang paling serius. Sebab alangkah kerap dan begitu acap, dalam tindakannya, manusia asal saja bertindak tanpa menimbang-nimbang. Sering tidak tahu apa yang diperbuatnya sendiri. Tidak melihat apa yang seharusnya ia lihat dengan cermat dan teliti. Oleh sebab itu, manusia tidak cuma butuh pengampunan atas semua kesalahannya. Tapi, tidak kurang dari itu, ia juga butuh pencerahan atas kertidaktahuan dan kebutaannya.

Orang-orang yang berteriak-teriak histeris di pekarangan gubernuran menuntut kematian Yesus waktu itu, tidak serta-merta adalah orang-orang jahat. Mereka cuma kesal--seperti kita pun pasti berang--kepada orang yang menurut mereka dengan seenak perutnya menginjak-injak tradisi suci teologi dan religi, yang dengan khidmat telah mereka rawat berabad-abad. Tapi sayang, mereka buta. Merasa tahu, tapi sebenarnya tidak tahu apa-apa. Tidak tahu siapa sebenarnya Dia yang darah-Nya ingin mereka hirup, dan yang nyawa-Nya ingin mereka cabut. Dia tak lain adalah Tuhan atas semua hukum serta aturan agama yang mau mereka bela itu.

Pentas sejarah penuh dengan tragedi serta ironi sejenis. Socrates, ribuan tahun yang lalu, juga dipaksa menenggak racun. Bukan oleh orang-orang lalim yang di tubuh mereka mengalir darah Iblis lalu menjadi demonis. Tapi oleh orang-orang Gerika yang amat terhormat lagi beradab. Mereka--seperti kita di tahun 66-an--merasa harus memenuhi amanat suci: membunuh si ateis.

Sekali lagi, sayang sekali, orang-orang "baik" ini tidak menyadari kebutaan mereka. Tidak menyadari bahwa keseragaman yang mereka paksakan akan memasung dan mengerdilkan. Sebaliknya ke’bhineka’an--seperti diwakili oleh konsep Socrates tentang "allah" yang berbeda dari yang ada--justru akan memperluas cakrawala religiositas mereka.

Kita bisa menyebutkan ratusan contoh lain mengenai kebutaan manusia. Termasuk kebutaan agama pada umumnya dan gereja pada khususnya. Pengalaman Copernicus, Galileo Galilei, Charles Darwin, Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr., Theys Hiyo Eluay, dan sebagainya, adalah sebagian kecil contoh mengenai mereka yang telah menjadi korban perbuatan orang-orang yang (mungkin) bermaksud baik, tapi buta.

* * *

Kisah-kisah tersebut, dalam retrospeksi, seharusnya membuat kita malu kepada diri sendiri. Sebodoh itukah kita? Sebegitu butakah mata hati kita? Tragisnya, kita toh tak jera-jera juga. Berulang-ulang dan berulang-ulang, kita kembali menapaki lorong kesalahan yang sama. Terjerumus ke lubang yang itu-itu juga.

Kata Arief Budiman, kalau orang tanpa sengaja terperosok ke lubang, ini namanya tragedi. Namun bila kemudian. orang tersebut jatuh dan jatuh kembali ke lubang yang sama, ini namanya komedi. Cuma jelas, pasti badut yang tak lucu.

Orang-orang yang "buta nurani" itu merasa tahu betul apa yang mereka lakukan. Baik motivasi maupun tujuannya. Dan semuanya sungguh aduhai, serba indah, luhur, dan mulia. Tapi bagi mereka Yesus berdoa, "Ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."

Tokoh-tokoh yang gemar menyulut konflik dan menebar teror, bermain-main dengan api etnis dan agama di negeri kita, adalah orang-orang buta yang pengecut tapi berbahaya. Saya akui, ini memang cara paling mudah dan jalan paling cepat untuk membakar semangat. dan memikat pengikut. Tapi apakah mereka tahu apa yang mereka perbuat? Bahwa api yang mereka sulut akan membakar segenap negeri, serta mengubur seluruh masa depan--termasuk rumah dan masa depan mereka sendiri?

Tapi tidak cukup hanya berbicara mengenai para provokator serta aktor-aktor intelektualis di belakang mereka, yang entah siapa. Saya juga harus menyapa semua penyelenggara negeri ini. Ya legislatifnya, ya eksekutifnya, ya yudikatifnya. Semua pemimpin orpol, ormas, dan ornop. Semua tokoh agama, pendidik, dan cendekiawan. Para penentu kebijakan ekonomi dan pelaku bisnis. Para perwira tinggi sampai prajurit TNI dan POLRI. Pemimpin-pemimpin masyarakat khususnya di daerah bergolak. Semua Anda yang disapa oleh sang Sabda. Tahukah Anda apa yang Anda perbuat? Sadarkah Anda apa atau siapa yang Anda salibkan?

* * *

Yang ingin saya tekankan adalah, bahwa ketulusan dan maksud baik saja ternyata tidak cukup. Siapa bisa menyangkal bahwa Hitler atau Stalin, Soeharto atau Aidit, seperti halnya Kayafas dan Pilatus, semuanya bermaksud baik? Tapi Shakespeare memang telah mengingatkan, betapa "Hal-hal termanis berubah jadi pahit sebab tindakan; (dan) ilalang pun berbau lebih harum ketimbang bunga bakung yang busuk."

Maksudnya, pada akhirnya, semuanya harus diuji dari output-nya. Bukan cuma dari klaim-klaim niat baiknya. Jadi tolong jangan Anda telan mentah-mentah propaganda tentang "agama kasih," bila yang Anda lihat adalah betapa dengan tangan kanannya ia memberi, tapi dengan tangan kirinya ia mengambil. Jangan pula Anda manggut-manggut terlalu gampang terhadap klaim "agama damai," bila di tangannya Anda lihat pedang terhunus dan di matanya nafsu membunuh. Keabsahan suatu maksud baik, juga amat ditentukan oleh "cara"nya dan "produk"nya. Benarkah caranya? Baikkah akibatnya?

"Ya Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." Yesus mengingatkan, betapa perbuatan tak bermoral yang keji dan kejam paling sering dilakukan orang atas nama moralitas. Dan orang tak menyadarinya. Semua berlangsung leluasa, sebab orang terlalu mengagungkan (atau mengeksploitasi) keluguan, yang sebenarnya adalah "kedunguan." Yang lebih tak lucu lagi adalah, orang menamakan ini "iman" Pura-pura lupa, bahwa iman memang melampaui pengertian, tapi tidak berlawanan.

Karena itu, betapa pentingnya pencerahan! Tuhan menuntut kita mengasihi-Nya bukan hanya dengan segenap hati dan seluruh jiwa, tapi juga dengan sepenuh akal budi. Semangat keagamaan yang berkobar dan berkibar tanpa akal sehat, akan menghasilkan fanatisme yang kuat, mungkin disiplin yang ketat. Tapi pasti bukan iman yang sehat. Pasti pula tidak akan membawa berkat.

Kita memang harus mengasihi, tapi jangan sambil mematikan akal budi. Kita memang dituntut bermurah hati, tapi jangan tanpa kalkulasi sama sekali. Kita memang mesti memelihara idealisme, tapi jangan lalu kehilangan realisme.

Yesus disalibkan bukan oleh para penjahat, tapi oleh para ulama, teolog, dan pejabat. Bukan karena alasan-alasan kriminal, tapi untuk tujuan yang amat sakral. Tapi mengapa begitu jadinya? Sebab isi kepala yang salah tidak pernah menghasilkan hati yang benar. The heart can never be totally right, if the head is totally wrong.

Agama hanya akan menjadi berkat, ketika iman bersanding dengan perbuatan; keyakinan berdamping dengan kebaikan, dan religiositas berpadu dengan akal sehat. Ketika para pemimpin dan penganut agama tahu apa yang mereka perbuat. Sadar dan tahu, apakah yang mereka lakukan itu menebar kasih atau menuai dengki. Membangun jembatan penghubung atau mendirikan tembok pembatas. Menghargai kebaikan dan kebenaran, atau justru menyalibkannya.